Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Seimbangkan filsafat dan teologi

Tidak ada komentar
Hari demi hari jujur saya melalui suatu pergunjingan hebat, makna hidup, filsafat, nasehat-nasehat dari semua orang saya serap semuanya, sbagai perwujudan suatu investasi waktu yang baik. Batasan baik dan buruk sekiranya jelas di mata saya, tetapi kembali lagi apakah yang jelas di mata saya itu jelas di mata anda? atau dapat dikatakan obyektif?



Segala hal yang saya lihat, kehidupan yang tidak benar di Indonesia. Semua seakan merasuk, dan membujuk untuk menerima sebagai sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang lebih harus akan diterima sebagai kebenaran umum. Kadang ada yang bilang, "ketika sudah masuk di dunia nyata, kita harus melepaskan ideologi" atau dengan kata lain 'dunia nyata tidak sepenuhnya idealis'. Tetapi dengan penerimaan pernyataan itu juga saya tidak menemukan apa yang sebenarnya harus diperjuangkan manusia di bumi ini. Memang skeptis ketika mempertanyakan segala hal, menjadi tidak praktislah kehidupan kita ini. Tetapi tanpa menanyakan hal-hal (sampai seluk beluk yang terkecilnya) tersebut, membuat saya seakan menjadi jenaka (hal yang saya gunakan untuk menutupi keprihatinan ketidak sinkronannya segala sesuatu) menjadi suatu ganjalan luar biasa di hati. Menjadikan suatu yang saya kerjakan menjadi tidak kontraproduktif.

Gila juga bukan sebutan yang tepat untuk kondisi seperti ini, walaupun secara nyata akhirnya saya memutuskan untuk tidak kemudian memikirkannya. Tetapi ketika saya menilik suatu peristiwa yang sering terjadi akhirnya kemarin secara tidak sengaja saya memarahi adik angkat (cewek), karena kadang tindakan yang dibawah nalarnya (dibawah kesadarannya) justru mengusik saya. Memikirkan apa yang tidak pernah dipikirkan, mempertanyakan fungsi dan etika perbuatan dengan mengindahkan kesadaran personal membuat saya menjadi emosional. Entah apa yang saya pikirkan setelah itu? benar / tidaknya menjadi relatif, rasa bersalah mulai merasuk dan menekan diri untuk membuat pertanyaan-pertanyaan lagi yang saya akhirnya tidak mengerti jawabannya.

Bertapa? saya pernah disindir untuk hal ini? tetapi kadang saya pikir hal ini bisa membantu saya untuk mencari jawaban (atau jeleknya mungkin mempertanyakan lagi tentang apa yang saya lakukan?)  yang telah saya terima, ideologi-ideologi yang perlu disaring, dan akhirnya menemukan suatu garis merah (atau dapat disebut juga garis kebingungan) yang menurut saya pasti tetapi akhirnya yah tertabrak idealisme dalam kenyataan yang selalu kontra.

Agama atau bisa saya sebut lebih universal sebagai teologi, kontras dengan filsafat yang cenderung bebas. Teologi ini (sepengetahuan saya yang sempit) membatasi segala sesuatu dengan jelas. Karena nyatanya kita seperti ditutup oleh kaca mata kuda, kita tidak mengerti apa yang jelas di kanan dan kiri kita, karena sepenuhnya kita tidak mengerti dengan dunia ini. Tetapi jelas berbicara agama / kekatolikan nyatanya memberikan batasan yang jelas apa yang baik dan tidak tentang apa yang kita lakukan. Memberikan suatu dopamin bagi tiap hal sesuai yang kita lakukan.

Tetapi nyatanya pemahaman agama saja akan sangat mungkin menutup sebagian orang untuk menjadi fundamentalis yang keras dan akhirnya menyalahi bahkan kedua konsep ini yaitu: filsafat dan teologi.

Saya tidak ingin membahas terlalu dalam pada persoalan agama, karena persoalan saya terdapat pada ketidakhentian berpikir tentang filosofi segala sesuatu. Merasa bahwa segala ilmu yang masuk dikembangkan menjadi suatu objek yang uncontrolled. Menghancurkan perasaan dan kepercayaan, menumbuhkan suatu arah kebencian yang tidak jelas. Mungkin ketika dihubungkan dengan setan, mungkin di sini lah peran optimalnya. Semakin menulis semakin tidak jelas, karena semakin kacau halauan pemikiran yang mencapainya.

Tetapi akhirnya saya sadar (walaupun dari dulu sudah diberi tahu berkali-kali), keseimbangan di dalamnya memberikan suatu romantisme yang luar biasa, seketika saya membaca alkitab. Walaupun sangat dipaksakan (berusaha selama 2 minggu) baru tadi saya baca kitab amsal. Dari tiap ayat-ayat yang saya baca, sangat mengundang suatu pertanyaan, tetapi berbeda dengan filsafat, pertanyaan itu merujuk artian dari tiap ayat tersebut. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang sangat spesifik (tidak meluas), dan begitu mengena. Yang nyatanya dalam diri, saya menyadari bahwa membutuhkan ribuan kata untuk menjelaskan suatu arti yang benar-benar dapat diterima bersama oleh manusia.

Sama seperti hal ini, ketika kita mulai membaca suatu sejarah (alkitab tertulis sebagai perwujudan apa yang dilakukan orang di masa lalu), kita seakan mempelajari apa yang bisa kita tiru atau tidak, karena ada juga pengetahuan bahwa sesungguhnya yang terjadi di dunia ini adalah perulangan tentang apa yang terjadi di masa lalu, dengan mempelajari apa yang mungkin terjadi itu layaknya kita bisa menjadi bijaksana. Ya bijaksana, adalah kata yang aku terus cari selama ini (teringat injil kesukaan saya, yang dibaca pada tanggal 26 juli kemarin, coba lihat kalender liturgi gereja: tentang salomo).

Seperti obat ketika menemui sesuatu yang kita tidak sukai untuk mencoba meminumnya, tetapi ternyata banyak sekali berkat yang dapat kita dapatkan untuk selalu berusaha mencari Tuhan, mencari kebenaran-Nya yang pada masa-masa ini banyak sekali dikacaukan oleh orang fasik. Tuhan itu ada.

Terimakasih..

Tidak ada komentar :

Posting Komentar