Darurat Narkoba 2015
Jam segini 03.00 AM + radio elshinta, banyak orang indonesia (seenggaknya yang ikut berpendapat) yang menolak grasi bagi pelaku dan penjual narkoba, dan sepenuhnya mendukung presiden untuk hal ini. Diceritakan, mulai dari konspirasi polisi, intimidasi dari pengguna pada ortunya (disuruh cari uang), kemiskinan yang dihasilkan, & bekas pengguna yg kerap retret narkoba membuat gemas para penelpon radio tsb.Saya juga pernah baca artikel-artikel tentang kartel di meksiko pasti paham betapa mengerikan-nya aktivitas yang berhubungan dengan NARKOBA. Seorang romo yg saya kenal jg menambahkan, di dunia ada 3 bisnis pembuat uang yang terkenal gelapnya, yaitu: narkoba, esek-esek dan senjata api. Gelapnya itu termasuk hal seperti rebutan kekuasaan dengan mengorbankan manusia-manusia di sekitarnya.
Bagi Gereja Katolik kalau ada uskup atau romo yang terang-terangan di hadapan publik mendukung hukuman mati, di saat itu juga 24x1 akan langsung menerima hukuman 'ekskomunikasi' langsung dari Vatican. Dengan mengetahui informasi ini, saya juga tidak mengharapkan kaum agamawan (khususnya katolik) untuk dapat mengadvokasi resiko 'pengampunan' pada pelaku NARKOBA di era ini. Kemungkinan juga di mexico - kaum ini sendiri - tidak berkutik menghadapi 'cancer NARKOBA' yang sudah ganas.
Meniru masyarakat Rusia masa kini yang memiliki kesejarahan buruk dari berbagai perang (leningrad dan belarus yang hingga kehilangan 1/4 penduduknya), yang bisa bertahan tanpa menyalahkan pemerintahannya dari sanksi-sanksi ekonomi yang dilancarkan oleh barat dengan kompak, demikian harapan saya untuk Indonesia dengan potensi sanksi dari 50+ negara internasional. Formalisme-formalisme HAM itu harus ditimbang dengan beban resiko dari resiko penyalahgunaan dan perdagangan NARKOBA di Indonesia.
Ada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang bisa kita gunakan sebagai benteng untuk kebijakan ini yaitu apabila ada sesuatu tindakan atau perundangan yang diduga menyebabkan kerugian yang besar, walaupun tidak ada bukti ilmiah, beban pembuktian itu tidak berlaku bagi yang melakukan tindakan. Namun, dibalik itu adalah bentuk necessary prejudice ke depan ada resiko pemfitnahan dengan NARKOBA. Ada kemungkinan barang tersebut dihubungkan dengan 'orang baik' tanpa sepengetahuan atau bahkan diatur supaya dia masuk ke dalam sel kurungan dan dimatikan. Jadi dengan kebijakan yang berlaku saya juga mengharapkan pengadilan yang jujur dan transparan untuk mengawasi hal tersebut.
Saya sebagai pribadi mengakui bahwa ada ketegangan tentang nilai kehidupan manusia sebagai sesuatu yang inherent, memang walaupun itu 1 nyawa, nyawa tetap nyawa, nyawa tidak boleh dihilangkan paksa karena manusia tidak memiliki hak untuk menghilangkannya.Tetapi, pilih pengampunan 1 nyawa atau 1000 nyawa beresiko terancam, JELAS tidak bisa berjalan bersama, satu berjalan pasti merugikan pihak yang lain. KECUALI ada suatu teknik/metode hipnotis atau pengkondisian di mana bisa terjamin, setidaknya > 95% (dengan asumsi error 5% saja) kebiasaan penyalahgunaan tersebut BERHENTI TOTAL, hingga sampai di titik itu kita tau dimana kita berada dan bertindak sebagai bangsa yang memiliki generasi untuk dipupuk ke depan.
Entah apabila ini dikatakan hiperbola, tapi sangat penting bagi manusia dalam menentukan sikap. Orang yang sudah menentukan sikap/stand point, tentunya sadar dengan sikapnya dan bisa merevisi apabila ada pilihan yang lebih baik.Kemana kemanusiaan kita berpihak? bisakah hal ini (pedagang narkoba) dibandingkan dengan nyawa 1 juru selamat yang mempengaruhi ribuan orang?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar