Prokrastinasi, kesadaran, penyakit sekaligus obat dan terbang!
Waktu berjalan seperti biasanya,tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.Waktu ini tidak berawal dan tidak berakhir, dia ‘ada’ sejak ‘adanya’.
Apa yang disebut waktu ini memang misterius namun banyak dimetaforkan dalam hidup.
![]() |
Waktu yang melihat (sumber: http://a1.s6img.com/cdn/box_003/post_13/428844_10986754_lz.jpg) |
Waktu berjalan seperti biasanya itu dan tiba-tiba cemas mendatangi orang yang tidak menghargai momen dengan baik. Saya mengatakan momen karena waktu lebih saya anggap sebagai satuan perjalanan yang kemudian menjadi momen ketika diberikan nilai di dalamnya. Momen adalah fragmen dari keseluruhan waktu dalam hidup kita. Fragmen berarti momen satu memiliki kekhasan dibandingkan momen yang lain dan menjadi bagian. Bisa kita katakan momen SD, SMP, SMA, Kuliah, Kerja, Menikah, Berlibur, dll. Momen kadang repetitif, namun selalu sekuensial. Tidak bisa kita merasakan dua momen dalam satu waktu, pasti yang satu akan lebih mendominasi yang lain.
Momen berhubungan dengan peran kita, siapa kita pada saat itu menentukan momen. Momen pada saat SMP sebagai murid atau pada saat menerima rapor sebagai momen kebersamaan dengan orang tua misalnya (seolah-olah walaupun kita berseragam). Momen ini berhubungan dengan rasa dan rasa ini kita definisikan sendiri, namun tidak pernah bermakna ganda. Brian Tracy dalam bukunya ‘Maximum Achievement’ menyebutkan bahwa hanya ada satu rasa yang bisa kita rasakan secara bergantian di dalam otak kita, positif atau negatif. Emotional Quotient (EQ) yang dirumuskan D. Goleman menyebutkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk memilah-milah rasa dalam perasaan, tentunya rasa dari perasaan-perasaan yang bersifat positif dan negatif. Misalnya: senang, bangga, percaya diri untuk perasaan positif / iri, cemburu, sombong, sinis untuk perasaan negatif. Maka momen ini memiliki rasanya sendiri tergantung apa/siapa yang menjadi fokus kita pada saat tersebut.
Kenyataan yang dialami manusia di luar bisa dipersepsikan berbeda di dalamnya, ini adalah kemampuan manusia sebagai animal rationale yang mampu untuk menciptakan persepsi secara otonom di atas segala situasi yang dialaminya (sikap non-determinatif). Hal ini terjadi pada kasus prokrastinasi, dimana ada kesenjangan antara realitas (dasein) dengan pemikiran kita. Idealnya apabila ada pekerjaan, harus segera diselesaikan, namun common sense ini tidak berlaku pada orang berprokrastinasi. Orang berprokrastinasi didefinisikan Anthony Robbin sebagai orang yang menunda rasa sakit pada saat ini (putting of the pain). Manusia berprokrastinasi berusaha untuk sejauh mungkin menghindari kenyataan dan menghanyutkan dirinya pada hiruk pikuk yang sebenarnya dia tau bahwa hal tersebut tidak penting baginya. Hal inipun pernah terjadi pada saya.
Jujur saya pernah mengalami gejala inferioritas, karena secara berulang saya bergonta-ganti judul skripsi, yang pada akhirnya, di satu titik, saya merasa bahwa itu (mengerjakan skripsi) adalah hal yang tidak berguna. Alasan tidak bergunanya adalah bagaimanapun saya coba hasilnya sama saja (saya berganti topik 7x), progress saya tidak pernah maju ke tahap berikutnya. Dasar yang salah inilah yang menjadikan saya untuk menghindar dari mengerjakan hal tersebut, sekeras mungkin yang saya bisa. Namun puji Tuhan saya mendapat pelajaran dari situasi tersebut, saya banyak membaca buku motivasi dan sekarang merasa bisa bertransformasi untuk menjadi manusia yang lebih baik untuk dapat menyelesaikan momen tersebut.
Dalam Prasetiyono (2014), Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis, menyebutkan bahwa kondisi manusia yang sudah berdamai dengan realitasnya disebut kehadiran. Mungkin terlalu berat jika menjelaskan eksistensialisme (Anda perlu baca habis bukunya sendiri), namun yang jelas saya simpulkan sendiri bahwa ketika manusia sudah berdamai dengan realitas, manusia bergerak dari titik ‘unconsciousness’ menuju ‘conscious’ dan hadir di titik present (saat ini). Martin Heidegger juga menambahkan kondisi eksistensial ini sebagai kondisi cemas (anxiety). Kondisi ini bukan tanpa sebab menurutnya (M. Heidegger) cemas ini berasal dari kesadaran akan kematian atau realitas lain di dunia yang tidak bisa dihindari dan manusia secara otonom berusaha sebisa mungkin mengadakan posibilitas-posibilitas untuk mengatasi hal tersebut (misal bekerja agar dapat makan agar terhindar dari kelaparan, kematian).
Secara gamblang dapat saya katakan bahwa kesadaran ini semisal saya dengan skripsi saya + umur + ancaman globalisasi (MEA). Coba ada mencari titik kesadaran Anda sendiri… Ketika Anda menemukan apa yang menyebabkan dag-dig-dug (cemas), Anda bisa menggerakan diri Anda lebih baik. Namun saya sadar hal itu tidak bisa demikian juga, manusia tidak bisa diharapkan untuk dapat merubah dirinya hanya dari 1 cara ini saja, ada cara lain.
Prokrastinasi secara praktis dapat kita ekstrak juga menjadi: doing what I’m likely to. Ketika saya mendengarkan audiobook dari Kerry L. Johnson (mantan atlet internasional) yang berjudul ‘Science of Self Discipline’ yang salah satunya menyebutkan bahwa dalam teori perubahan perilaku (dalam hal ini procrastination) hanya dapat dilakukan dengan memberikan reward. Punishment menurutnya hanya dapat memotong kebiasaan namun tidak bisa mengarahkan, karena secara inheren punishment ini tidak disukai dan dihindari manusia. Bagian-bagian dalam prokrastinasi sebagai doing what I’m likely to bisa menjadi obat yang mujarab bagi perubahan diri. Apabila kontrol diri Anda sulit maka rewarding dapat menjadi obat Anda. Misal Anda suka berprokrastinasi dengan bermain game, lakukan sesuatu based on reward tersebut: misal, saya baca buku 80 halaman maka boleh main game 1 jam. Namun jangan terlalu membayar mahal! Misal kerja 30 menit reward-nya 2 jam. Saya berhasil dengan me-reward hal-hal kecil, sebanyak 21 kali yang akhirnya sekarang jadi kebiasaan.
Kemudian kembali ke topik sebelumnya: maksimalkan momen kita! Jangan beranjak sebelum momen tersebut selesai. Brian Tracy mengatakan bahwa kegalauan-kegelisahan adalah dikarenakan ada sesuatu yang belum tuntas dalam diri kita. Dan tidak diharapkan oleh Brian kita mengerjakan sesuatu yang dengan putus-putus (misal mengurus bisnis dan tugas akademik) karena waktu kita akan habis lebih banyak (50% lebih lama, menurutnya) untuk tiap kali memulai ulang tugas tersebut (selalu mengulang dan mengevaluasi progress-nya sebelum memulai). Dan untuk terhindar dari kebiasaan prokrastinasi jangan menghindari realitas dengan hanyut lagi, biarkan kegelisahan dan kecemasan menggerakanmu untuk bekerja.
Bukankah dari kata emotion itu ada motion (gerakan) di dalamnya?
Bukankah dari kata emotion itu ada motion (gerakan) di dalamnya?
Sumber:
- Anthony Robbin, Awake The Giant Within
- Brian Tracy, Maximum Achievement
- Emanuel Prasetiyono, Tema-tema eksistensialisme pengantar menuju eksistensialisme dewasa ini
- Kerry L. Johnson, Science of Self Discipline (Audiobook)
*mohon maaf apabila karya ini ditulis secara semi ilmiah
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar