Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

MENGHADAPI BERITA ALTERNATIF DAN SKEPTISISME TERHADAP DUNIA

Tidak ada komentar
Ijinkan saya untuk menuangkan uneg-uneg yang ada di kalbu.



Semakin kita belajar,
Semakin kita tidak tahu.
Sebuah ungkapan lama yang sangat membantu kita untuk ‘berhenti’ memandang hal seolah-olah itu adalah sebuah ‘truth’ final.


Banyak media alternatif di dunia, ini tidak semuanya mengandung informasi yang benar. Walau di media alternatifpun, tidak semua penulis itu memiliki agenda atau penafsiran yang benar terhadap sesuatu hal yang sedang dibahas. Media yang sering saya baca, sebagai penyeimbang ‘media mainstream’ adalah:

Aljazeera, CNN dkk, Media Indonesia semua saya masukkan pada tataran mainstream. Karena mereka ini bersifat official untuk tayang di TV. Mereka ini besar dan sangat mudah diancam yang ARTInya sangat rawan dengan pemberitaan ‘hoax’.

Pengalaman membaca media alternatif memang, karena masa mereka yang kecil, kadang sedikit bersifat sektarian. Apalagi khususnya infowars memang disayangkan memiliki tendensi untuk islamphobia, saya tidak suka ketika tiba-tiba bumbu-bumbu itu masuk, tapi pembahasan dari orang-orang tersebut tentang dunia memang masuk akal.

Saya tidak akan menolak teori konspirasi. Menurut saya penolakan sebuah golongan terhadap teori itu hanya sebagai pembelaan diri saja. Bayangkan anda merencanakan sesuatu ke depan, dan melakukan planningnya dengan disiplin tentara, tentunya semua akan berbeda. Dan ketika sukses memang yang Anda lakukan secara rahasia itu adalah sebuah konspirasi.

Saya meneliti rasa yang saya dapatkan dari melihat pembahasan konspirasi tersebut. Kadang hati ini jengkel, gemes, emosi… kadang lho masak bisa? Kok tega? Saya sebagai orang yang menganggap diri tega, ternyata masih ada yang bisa lebih keji daripada itu… Betapa mengguritanya para kapitalis ini, ketika bahas gurita jadi ingat gurita cikeas. Tapi ketika baca pembahasan ‘siapa’ yang dinaratifkan dalam buku tersebut sebenernya bukan gurita sebenernya, gurita mini iya. Saya tidak akan banyak menulis di blog ini, namun mengajak kalau kawan-kawan mampu silahkan melihat ke situs-situs yang sudah saya tuliskan begitu banyak tersebut.

Contoh bahasan: fakta bahwa Edwin Bernays (keponakan dari Sigmund Freud), yang juga sama punya skill hebat pada bidang psikologi ternyata merupakan otak dibalik propaganda untuk menggulingkan Pemerintahan Demokratik Guatemala di 1954. Doi punya pemikiran bahwa ‘demokrasi itu secara fundamental, tidak bisa tercipta. Sehingga dibutuhkan – order – untuk menjaga agar segala sesuatu berjalan baik.’ Tentunya apa quote seseorang tidak mesti benar. Dan melihat yang terjadi dilapangan soal pembantaian itu tidak beda jauh dengan yang dialami oleh tertunjuk PKI di Indonesia pada tahun 1965. Saya berpikir bahwa bahkan 10 tahun pun akan berpikir bahwa menapuk anak lain adalah salah. Ke mana common sense itu pergi? Toh walaupun kita menganggap komunis itu salah.



Saya juga dibalik sosok serius ini juga orang yang getol mengikuti cerita-cerita anime. Bukan karena apa, karena sudah menjadi natural bagi seorang manusia untuk menyukai cerita. Kita dibacakan cerita sejak kita muda bukan? Oleh kakek-nenek, bapak-ibu, om-tante dan orang-orang lain yang perhatian dengan kita. Anime hanya sebuah visualisasi cerita dari komik-komik / visual novel yang ada. Anime sebagai sesuatu yang ketimuran, memiliki tradisi yang tidak jauh beda dengan saya sebagai orang Indonesia. Jadi jangan tanya soal marvel/dc comic ke saya, bukan soal anti-amerika (saya tidak pernah anti pada sebuah nama, kecuali pada -isme apalagi yang ekstrim) tapi saya pernah baca, tapi tidak semenarik buatan Jepang.



Hubungan kenapa saya bahas soal ini (anime), saya melihat fenomena bahwa dalam kebudayaan manusia, masih ada budaya yang ‘believe in humanity’. Percaya bahwa hanya dalam sesuatu yang harmonis dan dalam kebaikan, kebahagiaan bisa tercapai. Singkat cerita, saya tidak sendiri yang mempercayai bahwa segala yang baik adalah kepentingan bersama bukan kepentingan sebagian. Dan dalam cerita-cerita pendek tersebut, kita bisa mengetahui perjuangan masing-masing karakter untuk ‘struggle’ terhadap konflik yang terjadi. Mereka kemudian bertobat dan menjadi baik di akhir cerita.

Lepas dari dunia anime… Dunia Riil ini BERBEDA, tiada akhir cerita hingga nafas terakhir diri ini. Menuntut tahu/tidak akan terjadinya karma adalah menuntut akhir cerita. Kadang membaca berita konspirasi tersebut saya menjadi lemas, karena apapun yang terjadi semua sudah diproyeksi gila-gilaan oleh single power. Sehingga tidak ada kesempatan bagi yang lain, ketika Anda menjadi kaya bersiaplah direkrut dan kira-kira mungkin mati hati nuraninya.

Saya ini orang yang percaya dengan eksistensialisme (saya anggap ini adalah hak hakiki yang dimiliki tiap orang walaupun banyak yang ‘taken for granted’). Sehingga apa yang disebut nasib adalah hasil proyeksi grand-vision dari manusia lain. Put it simple, misal saya dan anda sama-sama dukun ya. Kemudian saya ingin satu gang orang-orang ingin ke toko saya, maka walau kita sama-sama menggunakan magic… saya yang lebih kuat akan memenangi di akhir dan itu nasib Anda! Seperti itulah kira-kira tafsiran tentang hasil proyeksi. Namun saya percaya bahwa dependensi adalah bagian dari hidup, karena manusia terikat secara kovalen saya yakin pemaksaan proyeksi secara ekstrim itu bukan hal yang baik.

Saya sebut lemas ini adalah skeptisisme tentang dunia, kalau sudah benar-benar buntu dan melihat wah ga ada jalan maka itu disebut nihilisme. Kalau saya curhat beginian sama teman saya, doi pasti akan bilang: jadi pragmatis aja, ikuti sisi yang lebih kuat sambil bangun kekuatan dan gak usah terlalu dipikirkan karena kamu lho siapa, bahaya masih jauh. Saya setuju dengan catatan: bukan berarti melepas pemikiran idealis. Karena hal itu akan membentuk karakter kita, betapa sedihnya bila kemudian saya menemukan diri saja terlalu pragmatis sehingga anak-kesayangan saya hanya terlihat sebagai objek bagi saya.



Kalau ada pembaca yang menulis, lho kamu ngapain juga baca alt-news, toh kalau gak baca gak bakal ngerti begituan dan merasa aman. Komen saya: rasa ‘bahagia’/’aman’ yang fake itu percuma, untuk menjadi bebas harus mengetahui segala hal. Saya bacapun dengan memahami pentingnya sebuah ‘informasi’ untuk mencegah kerugian lebih banyak akibat ‘gempa’ atau ‘tsunami’ yang mungkin saja terjadi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar