Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Ahok dan Kue Besar

Tidak ada komentar

Akhirnya post-ahok, seperti yang bisa diduga-duga seperti kata orwell, 'war is meant to be continous'. Setidaknya itu yang terjadi walau masyarakat tidak menginginkannya, konflik sebagai pencetus komoditas 'house-of-card' yaitu opini publik. Masyarakat selalu menginginkan keadilan dan perdamaian namun fakta yang terjadi kebanyakan sebaliknya.







Bila melihat sejarah peperangan yang terjadi masyarakat selalu diiming-iming dengan 'perdamaian' atau setidaknya untuk masyarakat Amerika Serikat dulu sebelum perang di Iraq terjadi mereka mendambakan 'demokrasi' terjadi di negara-negara timur tengah karena mereka menganggap bahwa demokrasi itu yang bisa membawa kemajuan di sana. Something good happens when there's democracy reside. Namun mimpi hanya menjadi mimpi saja, yang terjadi malah sebaliknya. Mungkin rezim itu bernama 'demokrasi' namun bisa dibilang komunisme berbungkus. Dan hal ini berulang dengan kasus Ahok, masyarakat ingin 'kesetaraan hukum' melalui gerakan yang tidak jauh berbeda dengan misal 212.
Perlu dipertegas sifat komunisme yang ada di sini pada bidang politik adalah: tidak boleh ada suara lain & represivitas.
Tentang Nurani
Sama juga dengan kasus ahok ini, banyak sekali teman saya yang berasal dari etnis Tiong hoa yang saya tau jarang banget getol dengan politik tiba-tiba seolah reaktif dengan kasus penistaan agama oleh Ahok. Padahal sejak dulu (sebelum ahok) kita tahu bahwa misal gereja-gereja kristen dibakar atau perijinannya dipersulit, maksudnya ketimpangan perlakuan terhadap beberapa agama itu tidak bisa dipungkiri karena adanya radikalisme yang ada dan somehow dilestarikan. Coba dipikir, apa bagusnya radikalisme - atau saya bilang eksklusivisme - untuk Indonesia yang mayoritas penduduknya multi-etnis dan banyak sekali agama dan aliran kepercayaan. Misal Kejawen pun sebagai aliran kepercayaan secara mendasar dipegang oleh berbagai orang walau beragama berbeda-beda. Apa bagusnya radikalisme itu selain untuk melemahkan kita? Macam divide et impera?

Aksi 1000 lilin
Apa yang didapatkan dari aksi 1000 lilin ini cuma showing off dari masa: "ini kami!" dan bukan kalian, gerakan ini tidak akan menyadarkan kaum radikal. Gerakan 1000 lilin ini membentuk ibarat clan baru. Gampangnya gini: sebelum ada gerakan-gerakan seperti ini yang ada hanyalah dikotomi: kaum radikal dan tidak radikal (apapun agamanya), namun setelah hal itu yang terjadi adalah multikotomi: kaum radikal, kaum lilin, kaum tidak radikal yg bukan kaum lilin. Satu-satunya gerakan etis menurut saya adalah dengan dialog, persebaran pengetahuan dan pemahaman cinta, menggunakan budaya-pop juga bisa (banyak komikus & instagramer yang melakukan). Rasa cinta ini tentang mengetahui bahwa memukul adalah salah dan perjuangan yang dilakukan adalah untuk komunitas yang lebih baik.
Mendekati orang yang berbaju putih adalah ikut berbaju putih sembari mengajak melepaskan platform itu menuju sesuatu yang dipahami bersama (bukan dengan mengenakan baju baru yg lain), 
namun itu sulit karena Indonesia tidak mengenal filsafat, filsafat didemonisasi di sini, dianggap membuat gila sedangkan yang tidak belajar filsafat ikut membeo dengan herald yg ada pada golongan itu. Entah mereka dibawa ke mana yang jelas filsafat itu bohong!
demo selalu mengajak masa yg sejenis
Jujur saya tidak ikut-ikutan dalam kegiatan semacam 1000 lilin, karena punya pemikiran di atas. Saya takut saya akan jadi tidak beda menjadi 'golongan 212' yang bahkan pendemo-nya clue-less kalau dirinya dipakai sebagai leverage untuk bargaining deal indonesia dengan free-port. Baca siapa Munarman itu? Kalau masih ragu dengan doi pengacara, bagaimana Anda menjelaskan tiba-tiba Mike Pence muncul (untuk deal-deal'an tentang free-port dengan pretext masalah radikalisme) setelah demo kasus Ahok? Bargaining yang bisa terjadi dengan 1000 lilin ini mungkin tentang integrasi kekuatan naga-naga di Indonesia, saya mendapat firasat ini karena ada pendapat bodoh JK di koran yang menyamakan kekayaan dengan tiong-hoa, berusaha menabrakkan masyarakat Indonesia dengan masyarakat etnis, konflik horisontal baru ini adalah nanti untuk menuntut 'submission' atau jenis upeti baru sebagai uang keamanan. Selain itu kepentingannya ya untuk memperkuat, mungkin partai 'merah' atau lebih dalam lagi deep-state faksi merah.

Saya tidak menganggap rezim sekarang ini malaikat untuk usahanya meminta TNI minta maaf atas kasus genosida 65 dan meminta hak lebih dari freeport atau iblis karena pembiaran terhadap kasus-kasus penindasan terhadap petani (vs pabrik semen dll) atau kasus penindasan orang papua. Namun yang jelas apabila partai berkuasa dapat dukungan masyarakat yg greget, maka kebijakan baru akan lebih mudah muncul (apapun kebijakan itu). Makanya jelek sekali bila kita ikut-ikutan dan jadi fanatik, walaupun itu untuk cause 'kesetaraan hukum'. Fanatisme bisa membutakan.

Beberapa waktu lalu juga ada panggilan dari luar negeri untuk kasus Ahok, ini adalah angin segar bagi rezim sebenernya. Menurut pendapat saya, posisi Ahok ini tidaklah salah, hanya memang orangnya tidak disukai (bandingkan coba sama Djarot), saya pribadi tidak akan mengakui putusan hakim. Karena ibarat menyamakan 'makan pakai sendok' dengan 'makan sendok'. Dan pengadilan luar negeri punya dasar yang kuat terhadap hal ini, tinggal panggil ulama sekelas Al Azhar di Mesir. Hal ini bukan tanpa sebab, karena proyek reklamasi ahok ini kan juga ada big-power yang menginginkan harus lancar, sehingga Ahok dijaga agar bisa buat peraturan-peraturan 'pengaman' sebelum doi turun (hingga oktober 2017) atau setidaknya sampai dapat deal yang pas dari pasangan yang menang pilkada. Namun saya pernah mendapat pendapat bahwa Ahok ini secara omongan memang tidak unggah-ungguh, bila dibandingkan dengan Kwik Kian Gie apresiasi terhadap Ahok ini termasuk overpriced. Namun dibalik retorika bahwa yang dilakukan pada Ahok adalah motif politik saja, saya juga mengkhawatirkan 'keadilan hukum' yang berjalan.

Saya sendiri merasa bahwa perjuangan yang paling riil bagi masyarakat adalah perjuangan tuntutan kelas, yaitu: perjuangan untuk mendapatkan UMR yang lebih baik, perjuangan melindungi lingkungannya, perjuangan mendapatkan informasi yang bebas, perjuangan terhadap peraturan yang merugikan masyarakat luas, segala sesuatu yang menuju pada kebebasan tidak hanya bagi 1 pihak.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar