Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

kudiam namun kuberpikir

Tidak ada komentar
Mungkin bisa disebut biasa atau tidak biasa bagi yang tidak pernah merasakan, suatu perasaan di jiwa yang terombang-ambing, bukan karena permasalahan ideologi bukan karena permasalahan iman ataupun kebenaran, bukan karena permasalahan apapun. 


Perasaan yang dirasa tak mungkin berbohong. Karena secara filosofis penulis berpandangan bahwa perasaan adalah mata yang paling sensitif namun tidak akurat. Perasaan melihat segala sesuatu menyeluruh dari dan keluar diri yang membentuk suatu pola kegiatan baik itu positif ataupun destruktif dalam diri manusia. Perasaan ini terbiasakan, dibentuk dari pola pemikiran, pendekatan, cara memandang/ persepsi, dan pemahaman akan sesuatu baik itu secara konotatif ataupun denotatif. 

Hal ini kadang bertentangan dalam diri. Seakan penulis terbagi antara iya dan tidak, masing-masing memberikan nasihat menurut tata cara, relatif dalam pemikirannya. Dualitas itu mungkin serupa malaikat dan setan / putih dan hitam, namun menyatu dalam diri ini. Terbentur antara pengalaman epistemologis istilah tersebut dengan realitas dan rasa yang secara pribadi dialami secara pribadi secara langsung. 

Perasaan ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh dimensi sekitar. Ketika pernah di suatu titik menyentuh keberadaan murni seakan penulis menjadi muak berada di alam realita. Sungguh berbeda dan cenderung ingin meninggalkan realita untuk pergi ke alam utopis itu, alam di mana kedamaian itu bisa nyata dalam kasih kebenaran.

Setelah memandang dunia itu, tidak lupa menatap kaca dan berpikir betapa tidak sempurnanya diri untuk dipantaskan masuk dalamnya. Memandang Allah yang dengan Kasih-Nya memperboleh kita masuk di dalamnya adalah suatu karunia (pemberian) yang amat besar. Ada yang bilang surga itu diberikan, segala apapun yang kita lakukan kalau Allah tidak berkenan maka kita tidak akan bisa masuk di dalamnya. Dihadapkan dengan penebusan yang berkonsekuensi pada remisi terhadap upaya perbuatan yang seharusnya bisa kita lakukan secara radikal ke dalam diri (bukan ke luar), menjadi pertanyaan yang tak kunjung henti tentang apa yang membuat semua manusia pantas?

Segala kejahatan-kejahatan terberitakan itu menyentuh pada ranah kontemplasi di mana selalu   membuahkan kasihan dan kadang rasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu, dari paham yang berbeda beda pulalah hukum yang bisa diajarkan atau dipakai sebagai pendekatan perbaikan diri. Namun seharusnya diri ini bisa mengisi kekosongan yang tidak terisi di bidang lain, mungkin inilah yang bisa kujanjikan. Siapakah manusia yang bisa memandang segala sesuatu lepas dari logika dan perasaan?

Penderitaan yang tiada akhir, ketidakadilan selalu ada. Debat dan fokus pada mencari apa yang salah / siapa yang salah kadang tidak banyak membantu, perbaikan itu perlu namun setelah semuanya aman, adil dan kenyang.

Secara pragmatis mungkin persepsi akan pemikiran ini salah dan harus diperbaiki, belajar filsafat tapi kesulitan dalam prakteknya. Ya.. tidak ada yang salah dengan sifat kepedulian yang begitu besar, namun ketidak berdayaan akan rasa peduli itu yang harus dienyahkan. Mungkin beberapa tahun lagi penulis akan melihat ini dan tersenyum, tapi untuk sekarang harus bisa maju untuk jadi pribadi yang lebih tegar dan kuat untuk menyinari sesama.

Kita harus mempunyai alasan untuk apa kita hidup, itu yang akan menguatkan kita ketika kita lemah. duc in altum

Tidak ada komentar :

Posting Komentar