Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Demistifikasi kata pintar

Tidak ada komentar
Seperti yang kita tahu bahwa kehidupan kita sedikit banyak dibentuk oleh kata-kata ‘pintar’ / ‘pandai’ / ‘cerdas’ dan kata-kata semacamnya. Kita dituntut oleh orang tua kita supaya mendapat nilai bagus yang kemudian mendapat predikat sebagai pintar. Tapi kemudian pada titik ini saya berpikir sebenarnya apa sih yang disebut pintar itu?

Ketika dulu saya masih les selalu saja ada desas-desus, anak itu pintar, pintar sekelas di SMA-nya, Nilai tinggi, dll. Saya yang waktu SD yang jarang dapat ranking, pintar kemudian saya anggap sesuatu yang mistis yang menurut kesimpulan saya merupakan bakat dan gen. Tapi saat sekarang ini saya meragukannya dan bertanya: ‘apakah demikian?’

Pengetahuan saat ini sudah melangkah pada tingkatan yang lebih tinggi. Segala hal dicari asal muasalnya, penyebabnya, pencetusnya secara empiris. Kemudian hasil temuan secara analitik disintesa sebagai kebenaran. Kebenaran analitik tersebut kemudian secara deduktif dicoba secara eksperimental diaplikasikan untuk mencapai visi kehidupan kemanusiaan yang lebih tinggi. Semisal dalam hal tinggi badan, dicarilah apa yang menyebabkannya optimal mulai dari diet sampai gen dari suatu bangsa yang berpostur baik dan tinggi dan kemudian hal ini menjadi sebagian ilmu pengetahuan dan sekarang bisa diaplikasikan dan menyebabkan fisik generasi mendatang berpostur yang lebih semampai dan dianggap ideal oleh sosietas. Pintar juga demikian dicarilah hal-hal yang menyebabkannya. Kemudian dari informasi-informasi penelitian itu kita mendapatkan apa dan kemudian dapat mengaplikasikan bagimana-nya untuk mencapai tujuan kita.

Namun pengembangan ilmu pengetahuan dan pengaplikasiannya juga tidak lepas dari kepentingan politik. Kita bertemu manusia lain, kita akan menemui pikiran dan kehendak mereka, kita menemui jiwa mereka. Demikian ilmu pengetahuan, di jaman ini selalu ada tendensi atau kehendak dibalik ilmu pengetahuan. Keterbatasan ketahuan kita akan pengetahuan menyebabkan kita selalu menggapai-gapai dan hanya bisa menafsir kehendak dalam politik pengetauan itu. Namun yang jelas dalam ilmu peperangan, secara pragmatis: untuk lebih tepat dan cepat-nya, dalam berstrategi kita selalu harus menempatkan concern kebaikan (dahulu) dan kepentingan kita di dalamnya. Sebagai orang Indonesia kita harus tahu di mana posisi kita dan kepentingan kita, tentunya untuk lebih maju dan dapat bersaing dengan yang lainnya.

Pintar sebagai ideal yang hanya bisa diusahakan dengan makanan bergizi bermerk mungkin adalah kepentingan politik ekonomi material bagi pengusaha industri-nya. Pintar sebagai ideal yang diusahakan hanya dengan pendidikan formal mungkin juga adalah kepentingan politik juga untuk mereduksi harapan bagi mereka yang miskin dan kurang pendidikan formal untuk bisa diatur dan hanya pantas menjadi bawahan dari kaum terdidik, tapi apa benar selalu begitu? Kita juga perlu menelitinya dari sisi kita Indonesia dan segala masalahnya dan posisi negara non-indonesia yang bisa memanfaatkan pengetahuan.

Doubt is unpleassant, but certainty is absurd – Voltaire

Namun di sini saya melihat di sekitar saya bahwa pintar dan menjadi sukses tidak lepas dari kondisi kesejarahan dari pihak terkait. Pintar kemudian di titik ini saya anggap sebagai ‘tahu lebih dulu dan lebih dalam’. Pada saat ujian matematika, apabila ada seorang murid yang mendapat nilai yang bagus dalam ujian, maka akan saya anggap anak itu hanyalah tahu lebih dulu dan lebih dalam. Les dan buku-buku yang dia beli sebagai upaya material hanyalah untuk mencapai ketahuan lebih dahulu dan lebih dalam saja. Toh apabila ada murid lain yang sudah diajari oleh guru namun tidak mendapatkan nilai yang serupa bisa dipertanyakan, apakah murid tsb berkonsentrasi dan benar-benar tahu saat diajar dan benar-benar secara dalam mempertanyakan keilmuannya (penghalang untuk tahu)? Apakah tidak ada hal-hal psikososial yang secara negatif selalu mempengaruhi konsentrasi pembelajarannya di kelas (penghalang untuk tahu lebih dalam)? Ada berbagai hal yang mempengaruhi.

Untuk menjadi awas, pintar adalah suatu identitas yang di jaman sekarang ini bisa saja (secara ironi) saya anggap sebagai keberhasilan monopoli informasi atau onani inteletual. Monopoli informasi yaitu membatasi orang lain agar tidak mendapat informasi yang benar atau secara lebih cepat, atau onani intelektual yaitu menjadi pintar sendiri dan menikmatinya sendiri tanpa melihat orang lain, yang membuat user-nya bisa mencapai nilai tertinggi. Kedua hal ini merupakan bentuk dari inferior kompleks yang dimiliki wielder-nya. Tapi kesuksesan yang dihasilkan oleh hal tersebut dipatahkan dengan keberadaan kaum budak di masa lalu, yang mengalami kondisi monopoli informasi sedemikian rupa, yang sekarang menjadi sangat pintar dan bertahan berada di puncak ke-ekonomian dunia (kaum Israel dan kaum tiong hoa). Kaum budak yang menderita itu mempunyai memoria pasionis yang sangat kuat yang mendorongnya sadar untuk kemudian lepas dari ketidakmerdekaan-nya melalui pendidikan dan pengetahuan. Kaum budak ini secara cerdas juga menghindari upaya pembudakan manusia lain lebih jauh, membuat mereka yang lain terlena agar tidak pernah berpikir bahwa mereka diperbudak dan perlu memerdekakan diri dengan belajar.

Pain changes people - Anonymous

Pintar membutuhkan belajar, belajar membutuhkan sikap seorang murid. Sikap seorang murid adalah aktif mendengarkan dan selalu bertanya. Namun sikap mendengarkan dan bertanya ini tidak bertahan lama apabila berasal dari dikte seorang guru. Harus ada sikap mental yang menimbulkannya dari dalam secara terus menerus, sikap mental semacam ‘saya ini menderita sakit dan harus lepas dari perbudakan ini’ dan menanamkannya sebagai memoria pasionis. Kita layaknya harus pandai-pandai menipu pikiran kita yang logis ini untuk mendapatkan ‘roso’ dari memoria pasionis itu supaya menjadi pengkondisian yang baik. Hanya orang yang tidak terlalu merasa menderita yang tidak merubah keadaannya, sikap tabah itu bisa jadi pedang bermata dua. Dari situlah kita belajar menjadi pintar dan bermetamorfosis.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar