Eyel-eyelan pilpres 2014
Coblosan sudah selesai tapi efek sampingnya masih saja terjadi, menjadikan saya ingin urun pemikiran.

Bila toh kemudian tuduhan ada kecurangan untuk salah satu capres, toh bisa dilogikakan seperti ini:
- Apakah ada jaminan kedua koalisi pemenangan capres main bersih? Kalau bahkan si capres penuduh itu ketemu kotornya, maka akan sangat munafik untuk mengatakan bahwa mereka dicurangi.
- Apabila argumennya KPU itu main kotor / cacat hukum, mengapa kok tidak sejak awal pemilu berjalan diveto saja? Kenapa kok baru diveto ketika sudah tau hasil akhirnya? Bukankah ini mengindikasikan bahwa koalisi pemenangan capres ini CUMA tidak terima kalau mereka kalah?
- Bila toh pemilu diulang, apakah kelak nanti apabila capres itu kalah lagi dia bisa terima? Toh apabila dia bersumpah, nyawa siapa saja yg bisa jadi jaminannya? Toh tidak akan ada jaminan. NB: saya tegas sekali mengatakan hal yang begini dikarenakan masalah di negara ini begitu riil, banyak kemiskinan dan kecacatan (bahkan kematian) / masalah kesehatan lain yang disebabkan secara tidak langsung oleh korupsi berjamaah. Apabila ketidak terimaan ini bukan atas asas prinsip keadilan dan malah nafsu kekuasaan semata ya percuma ada pilpres (karena ini dinilai menghidupi sifat korup dimulai dari pemimpinnya).
- Kita punya berbagai media masa sebelumnya (sebelum periode pilpres ini[yang tiba-tiba mendadak berjumlah puluhan]), berdasarkan periode dari established-nya hingga sekarang, media masa yang kredibel menurut saya: untuk cetak adalah Jawa Pos, Tempo, Kompas, & Surya; untuk online adalah Antaranews.com, Detik.com, Viva.co.id, & Tribbunnews. Media ini jelas netral dan berpihak pada Etika Moderasi PERS. Karena apabila tidak maka bisa ndak laku dong? Argumennya: mereka pastinya cenderung lebih berhati-hati memoderasi beritanya oleh karena umurnya, berbeda dengan situs-situs baru yg dicurigai yang cenderung pragmatis (NB: Mereka kan umurnya pendek, kalaupun diblacklist masyarakat ya ndak beresiko to? Tinggal buat lagi yang baru kan?). Terus langsung saja peluru saya: dengan klaim sebelumnya bahwa pilihan nomor 1 menang (berdasarkan media yang masih muda milik mereka) mengapa kok sebelum pengumuman beliau mengatakan tidak akan terima dengan rekapitulasi akhir KPU? Kalau begitu, dengan dia punya lembaga quick count sendiri (yang menyatakan dia menang) berarti seharusnya dia tidak punya asumsi kalah? Dari mana asumsi kalah itu, kok inkonsisten, dari quick count juga kah (kan rekapnya KPU belum selesai)? Loh quick count siapa yang bilang, kan punya dia mengatakan dia menang? Kalau argumennya NANTI bocoran dari oknum KPU, loh kok kamu kenal? katamu KPU tidak bersih?
Kepentingan politik masyarakat sudah tersalurkan pada tanggal 9 juli, paska 22 juli (pengumuman capres-wapres terpilih) itu harus diterima konsekuensinya. Masing-masing warga akhirnya tau ke mana pilihan masyarakat Indonesia. Apabila kepentingan negara yang diperjuangkan, maka seharusnya pasangan capres yg kalah tidak akan menguras lagi kekayaan negara untuk pilpres dengan pilpres ulang yang tidak beralasan kuat ini. Negarawan sejati mengerti hal seperti ini.
Kepentingan politik dari hari ini ke depan bila ada kisruh ya hanya dari kedua belah pihak yang beroposisi saja, tidak ada yang lain. Mari kita kerja saja, berkarya sebisa kita untuk Indonesia yg lebih baik.
Kepentingan politik dari hari ini ke depan bila ada kisruh ya hanya dari kedua belah pihak yang beroposisi saja, tidak ada yang lain. Mari kita kerja saja, berkarya sebisa kita untuk Indonesia yg lebih baik.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar