Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Hati nurani dan hubungannya dengan kebenaran.

Tidak ada komentar
Prolog: di sini saya akan bahas isu yang sangat debatable sebenarnya, membahas tentang kebenaran itu belum-belum bisa membuat orang defensif, curiga karena takut dipengaruhi, menuduh kita sok suci, sok kenal Tuhan, dll. Namun di sini saya tidak akan mengklaim dan membahas secara luas, saya hanya berusaha merangkum otak saya dalam sebuah tulisan ringkas. Semoga dengan ini ada banyak tanggapan dan kita bisa bertukar pikiran kemudian.

Di jaman yang modern (atau postmodern?) ini segala dogma dan kepercayaan mengalami uji kritis yang berulang-ulang. Cerita 2000 tahun lalu bisa saja dianggap hanya dianggap dongeng dan khayalan apabila tidak memiliki bukti fisik yang mendukung keberadaannya. Tak ayal itu juga terjadi pada Theisme atau Ketuhanan.


Saya adalah orang theis, namun saya ini suka berdialektika dengan segala thread argumen para atheis yang tersebar di jagat maya. Dikotomi yang menjadi proposisi saya dalam kajian moralitas adalah ada 2 pembagian: orang beragama dan orang tidak beragama. Saya membedakan diri dari orang kerdil yang membandingkan agama satu dengan agama lain sampai bertengkar tidak karuan (apalagi ukuran kebenarannya adalah pada agamanya masing-masing, toh agama [sbg standar] yg dipakai ukuran [diperdebatkan] akan menyebabkan persepsi penilaian yang konstan: pemegang agama selalu benar dan orang bukan pemegang agama / lain selalu salah), selain itu toh (lagi) apa yang dipentingkan dalam agama bukankah adalah keutamaan menjadi seorang manusia yang diciptakan oleh Yang Maha Tinggi? Saya tidak mengatakan semua agama itu sama, jelas berbeda! Namun terlepas dari itu, ada suatu manifestasi keniscayaan / sinkronitas / bentuk kongruen, tentang bagaimana kita menjadi manusia, yang akan memisahkan mana saja manusia yang sesuai dengan yang tidak sesuai (apapun agamanya). NB: Manusia dalam hal ini saya maksud sebagai manusia universal.

Berbeda dari pandangan agama yang mungkin menyatakan orang tidak beragama tidak akan pernah tahu: apa itu hati nurani ataupun kebenaran, saya berpikir bahwa selalu ada jalan bagi hati nurani ini untuk merasuki alam dialektika manusia. Didengarnya hati nurani ini terwujud dalam hikmat berpikir manusia yang menghasilkan berbagai keputusannya. Dari keputusan yang diciptakan itu, manusia-manusia lain akan dapat menilai: apakah itu bijaksana atau tidak / benar atau tidak. Namun apa yang perlu digaris-bawahi di sini adalah penilaian akan suatu hal whether itu merupakan hasil keputusan dari hati nurani maupun tidak, TIDAK tidak bisa diklaim berdasarkan idol-idol (proposisi awal) yang dipegang oleh tiap pribadi manusia, yang saya maksud idol-idol ini adalah agama, adat-istiadat, paradigma, dll.

Loh kemudian tanpa adanya standar itu bagaimana kelak manusia bisa menilai sesuatu itu baik dan jahat? Nah saya berpendapat bahwa hati nurani yang bersifat UNIVERSAL inilah yang ada di dalam masing-masing manusia, yang kelak dan seharusnya menjadi pertimbangan superior mengatasi idol-idol itu. Ada orang yang berpendapat bahwa hati nurani adalah juga suara Tuhan.

*renungan 1: peraturan dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk peraturan.
*renungan 2: Tuhan tdk pernah berkata yang haram jadi halal, namun apabila ada hal demikian bukankah itu semua untuk kebaikan manusia? (Obat)
*renungan 3: apabila ada suatu tempat yg di sana sebelumnya orang tidak beragama tauhid karena 100% tidak tahu, apakah Tuhan kelak akan memasukan kesemua orang itu ke neraka karena tidak menyembahnya? Jika menjawab iya, di manakah keadilan Tuhan?

Buktinya? Sejak ribuan tahun lalu, ada suatu nilai yg dianggap benar (suatu bagian dari kebenaran yg benar) bahwa mayoritas ibu di bumi pasti akan memiliki kasih sayang dan melindungi anaknya dengan sepenuh hati, walaupun ada yang tidak demikian tapi jumlahnya sedikit. Nilai kebenaran itu, keniscayaan itu tidak dibentuk dari konsensus masyarakat namun dari suatu rasa (yang diambil dari bahasa india). Keniscayaan ini dapat dibuktikan dengan berbagai penemuan tentang peradaban purba (yang bahkan diceritakan belum ada istilah agama). Terdapat kemiripan-kemiripan tradisi di berbagai dunia terhadap nilai bahwa ibu memiliki kasih sayang dan melindungi anaknya. Mengapa itu bisa terjadi?

*Renungan 4: Bukankah apabila kebenaran itu asalnya dari konsensus maka kebenaran itu nilainya dapat berubah-ubah? Apakah kebenaran itu berubah-ubah? Misal mencuri abad 0 bersifat jahat di abad 30 oleh konsensus menjadi baik? Lembaga agama dengan fatwa-fatwanya harus dikritisi dengan rendah hati. Menurut saya: Konsensus itu juga diperlukan, namun... fatwanya, akan dikritisi seumur hidup. Bukankah kita ini sebenarnya melakukan segala sesuatu walaupun belum tahu itu tidak tentu benar mutlaknya? (Kita tidak pernah berdiskusi langsung dengan Tuhan dan mendapat jawab-Nya benar/ tidak bukan?)

Dan lagi sebenarnya bagi saya hati nurani ini berupa sesuatu yang masih enigmatik, misterius, ibarat sebuah pointer dalam diri kita untuk menentukan titik kesetimbangan antara keadilan dan kasih yang kita tidak pernah tahu, namun bukan juga nullifikasi total terhadap nafsu (sifat kedagingan yang menjadi kodrat manusia) ataupun menjadi skrupulus karena terlalu menganggap semua berdosa.

Tetapi saya memberanikan diri untuk menulis ini karena toh kita sendiri tidak dapat menjamin setiap apa yang kita lakukan itu mutlak benar (walau kita anggap benar, termasuk postingan ini) dan Tuhan juga di surga tidak pernah secara live membisikan kata “ya” atau “tidak” terhadap pertanyaan manusia (kecuali kepada: nabi, rasul, santo/santa). Namun saya percaya bahwa Allah mewujudkan diri-Nya dalam pertimbangan hikmat dan perbuatan berdasar hati nurani itu tadi, yang probabilitas kebenarannya masih harus kita kritisi seumur hidup secara bertanggung jawab (upaya kita juga untuk menghindari untuk jadi indiferent, di sisi yang lebih ekstrim menganut nihilisme moral).

Walaupun begitu, ada yang bilang: karena manusia hanya bisa menafsir dan tidak pernah tahu mutlak akan kebenaran yang dilakukannya (yang kemampuan ini hanya dipunyai oleh Allah), bersikap kritis berarti pendidikan bagi hati nurani kita. Yah hati nurani itu bila sering kita dengarkan akan menjadi peka, semakin peka bila diajari dengan refleksi, apabila jarang digunakan akan menjadi tumpul dan kemudian lama-kelamaan bisa mati.

Jadi, kesimpulannya: mungkin dapat dikatakan bahwa the founder dari idol-idol itu sebenarnya hati nurani manusia oleh Allah dan oleh karena rentang waktu yang sangat jauh serta kemampuan belajar dan menafsir manusia yang sangat minim, manusia terbekukan oleh berbagai peraturan tanpa bisa mendalami bahwa tujuan sebenarnya dari berbagai idol-idol itu adalah untuk sebuah kehidupan. Namun di lain sisi ada manusia yang tidak mengakui dan mengkritisi lagi nilai-nilai keagamaan dan malah memulai dari tangga ke-0, hidup memang hal yg rumit.

*Ada pepatah bilang “jalan itu benar bagi masing-masing orang tapi Tuhan menguji hati.”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar