Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Cyberspace dan Cyberpool

Tidak ada komentar
Di era teknologi sekarang ini, realitanya, banyak ditemui orang yang sibuk sekali dengan gadgetnya bahkan pada saat bertemu dengan orang-orang yang mereka ajak di kafe atau tempat nongkrong lain. Bisa kita uji masing-masing apabila pergi ke pusat keramaian.


Ketika orang sudah sibuk dengan gadgetnya dia tentu tidak dapat kita ajak bicara (apalagi aktivitas lain) karena bagaimanapun juga manusia memiliki batasan yaitu tidak bisa 100% multitasking seperti komputer. Gadget bagaikan sebuah magnet yang sangat kuat dan menyedot keutuhan diri dari pengguna kepadanya, dia (pengguna) beralih dari dunia nyata ke dunia cyber (cyber space).
Cyber space saya definisikan di sini sebagai sebuah tempat lain (di internet) di mana identitas dari pengguna teknologi itu hidup, berinteraksi dan bertelekomunikasi dengan sesamanya.
Sebagai seorang realis, saya menolak ketika dianggap hal kegiatan gadget ini adalah seluruhnya kemunduran bagi peradaban sosial, namun memang seharusnya ada batasan-batasan norma yang harus dipatuhi demi kebaikan pengguna supaya interaksi dan perasan antar sesamanya tidak memudar.

Tapi apa yang saya tawarkan sebagai baik di sini adalah bahwa secara praktis keberadaan suatu ideal (ide)  itu bisa diamplifikasi dengan adanya cyberpool, terbukti dengan gerakan anonymous di internet.
Cyberpool menurut saya hanyalah ungkapan praktis saja tentang tanda setuju akan sesuatu (dilambangkan dengan tanda persetujuan berupa like / plus / dll.)
~ ok, bagian 1 di atas kita tahan dulu di ram otak kita. saya mau nambah thesis baru ~

Pada waktu extension course relativisme dan hati nurani, pernah ada bagian tentang apa saja logika sesuatu disebut kebenaran. Pada saat itu saya ingat dengan pendapat seorang filsuf Yunani bernama Protagoras yang mengatakan bahwa ukuran kebenaran adalah diri kita sendiri, dan yang lain dalilnya adalah ukuran kebenaran adalah suara yang paling keras (paling keras juga berarti sisi yang banyak bersuara lantang).

Memang ukuran dan dalil kebenaran Protagoras ini sangat lemah, rapuh dan tidak tetap, jika dipraktekan maka akan selalu ditemukan ambiguitas antara kebenaran dari diri kita (kebenaran menurut ukuran diri) dan suara yang paling keras (kebenaran komunitas), buktinya Protagoras pada jamannya selalu mengikuti arus apabila lebih banyak orang yang bersuara lain daripada dirinya. Dan, apabila mendalilkan hal tersebut untuk diri kita sendiri, kita akan bingung sendiri karena setiap waktu kita harus merekonstruksi apa itu nilai disebut benar, padahal kebenaran misteri. Namun dibalik itu ia memiliki kongruensi yang sama yang dimiliki dan dipahami masing-masing manusia apapun suku dan kepercayaan selama itu berasal dari hati nuraninya (kebenaran sebagai sesuatu yang diakui universal).

Namun bagaimanapun kita pun harus paham: manusia mempersepsikan dulu sesuatu disebut benar preceding (mendahului) apa itu realitasnya, sehingga tanpa adanya refleksi yang terus menerus, persepsi itu bisa-bisa akan disebut kebenaran final (manusia sulit untuk mempersepsikan sesuatu dengan utuh, karena keterbatasan dirinya dalam satu dimensi ruang dan waktu). Ilustrasinya sbb:
  1. Misal di jaman purba, orang mulai mengenal api dari petir. Pada awalnya karena dikira turun dari langit api itu dikira dewa (persepsi kebenaran).Manusia purba tidak melihat utuh pada waktu itu.
  2. kemudian waktu berlalu sejak ditemukan api kemudian oleh orang lain, orang itu dikira seorang penyihir (persepsi kebenaran yg lebih disempurnakan, namun belum sempurna), sampai akhirnya kita sampai jaman ini dapat digunakan sehari-hari.
  3. Kitapun lantas tidak bisa (tanpa refleksi dan pendalaman terus menerus) menyatakan secara final, bahwa api sebagai suatu yang reaksi kimia saja atau reaksi fisika, masih ada kemungkinan lain yang mungkin mengatasi nalar kita tentang api, misalnya: bisa saja ada kebenaran lain bahwa api adalah pintu masuk ke dimensi lain hehehe.... Ada istilah Law of Infinite Probability sekecil apapun kemungkinan itu tetaplah kemungkinan dan tidak terbatas.
  4. Manusia mungkin juga bisa mengetahui keutuhan apa itu api, namun hanya apabila dia hidup abadi dari masa purba ditemukan api hingga sekarang ataupun ke masa depan juga.
~ ok, bagian 2 di atas kita gabung dengan bagian 1 ~

Dengan KESADARAN untuk tidak menjadi seorang pragmatis sektarian sempit yang jauh refleksi dan pencaharian akan jati diri kebenaran hakiki (menjadi protagoras, relativis)

Yang saya tawarkan adalah apabila terjadi chaos / penggelembungan opini terhadap berita kebijakan yang berdampak negatif bagi negara, di media sosial karena adanya strategi praktis oleh pihak-pihak tertentu. Kita sebagai seorang idealis etis (orang yang mengejar tujuan transendental, yaitu Allah dan surga-Nya) sebaiknya harus juga ikut andil dalam pertarungan media tersebut dengan menghadirkan diri kita, walaupun dalam forum diskusi yang tereduksi (komen dan like, plus, path, dll.) alih-alih diskusi umum, kita masih dapat memberikan berbagai argumen atau pertanyaan apologetik yang reflektif dari hati nurani alih-alih dengan membiarkan arus komentar yang jauh dari kebaikan bersama (yang saya sebut negatif) berlanjut dan dipersepsi baik.
Namun juga pemikiran kita ini juga harus diimbangi dengan banyak mencari informasi, diskusi dan berdialektika di dunia nyata. Karena kebenaran hanya milik Sang Maha Misteri yang kita sebagai manusia hanya bisa gerayang-gerayang/ sebatas penafsiran saja, menyimpan beberapa informasi, membuat antitesis dan mensintesis kesimpulan baru, untuk dipegang kembali sebagai kemungkinan/tesis lain yang lebih dekat dengan kebenaran.
Ketika manusia hanya bisa menggerayangi kebenaran, apakah kita yakin dengan kepastian dari kebenaran kita 100%? (kebenaran berbeda dengan kepastian, menyamakannya berpotensi bahaya fundamentalisme)
Hal ini saya tulis sebagai antisipasi karena di masa yang lalu dunia cyber kadang mengkhawatirkan, hacker-hacker khususnya di Indonesia bisa dihasut menyerang negara lain (australia), pada saat ada isu negara yang bugging negara lain, mereka mengancam melakukan hacking pada fasilitas vital (kesehatan, dll). Hal-hal seperti ini dapat memicu perang cyber yang sebenarnya tidak perlu. Cyberpool diperlukan untuk memberikan pertimbangan bagi komunitas bersama.

Saya tidak mendewakan informasi, tapi saya masih ingat juga sejarah bahwa hanya dengan adanya informasi dari radio tentang "Jepang menyerah kepada sekutu", Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dan dengan informasi palsu juga Soekarno dihalang-halangi oleh Jepang dalam mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia.

Sebut saja saya paranoid, tapi ini pentingnya informasi kan?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar