Buku-buku dan kemiripan ilmu
Ketika saya mencapai titik ini berarti saya sudah melalui hal-hal tersebut, banyak kesempatan keliling toko dan menginspeksi judul-judul buku yang telah membuat saya tertarik dan beberapa judul buku tersebut dengan segala cara saya miliki, pinjam tentunya hehehe...Tetapi tiba pada suatu titik ketika saya sadar bahwa ada hal-hal yang mirip dari satu buku ke buku yang lain, ada senyawa sama yang dijelaskan dan dijabarkan dengan berbagai persepsi dan perspektif oleh penulis. Saya bertanya-tanya dalam hati kepada senyawa tsb: siapakah kamu itu?
Kembali mengingat ke ekstension course hati nurani dan relativisme yang saya ikuti satu tahun lalu, saya ingat dalam satu bagian diskursus bahwa dalam perziarahannya, manusia dalam kodratnya selalu ingin menggapai kebenaran, kemudian dalam persepsinya yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai praksis-praksis yang ada. Hal ini terbukti bahwa kita yang dengan sadar akan selalu mencari cara yang paling baik dalam menyelesaikan sesuatu masalah dalam mencapai tujuan kita.
Bayangkan sebuah tumbuhan yang kemudian mencari air dengan akarnya yang bercabang-cabang, air itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan tumbuhan untuk hidup. Kita umpamakan tumbuhan itu diri kita sendiri, air itu kebenaran dan kita menggapai kebenaran itu dengan banyak cara (akar). Ketika kita mencapai kebenaran maka itu membuat kita hidup. Namun bagaimana kita mengetahui bahwa kita sudah benar? Apakah mendapatkan 10 tetes air dari 1 ember air atau mungkin 10 ember yang mungkin bisa didapat itu bisa dikatakan benar? Kebenaran ini lebih jelasnya adalah nilai-nilai ideal: keindahan ideal, komunikasi ideal, dll. Demikian akar-akar itu melambangkan karya penulis yang mana bisa dikritisi mana yang membuat kita mendapatkan banyak pengertian untuk mencapai titik ideal tersebut.
Kembali ke senyawa yang saya katakan tadi, ada suatu sifat yang ingin digapai penulis-penulis dalam karyanya yang seolah ingin mengangkat pembaca ke atas punggung buku tersebut untuk terbang dan melihat sesuatu dibalik tembok tinggi misteri tersebut.
Kemudian apa yang saya inginkan dari pertanyaan tersebut? Sebagai anak muda saya selalu memiliki gejolak untuk mempelajari sesuatu dengan secepat dan selengkap mungkin dengan waktu efisien, tidak untuk bergaya, tetapi sebatas saya kemudian bisa bermanfaat bagi sesama dan bisa menjawab tiap pertanyaan yang kelak anak-anak dengan rasa penasaran tingkat tinggi tanyakan pada saya (anak saya kelak atau mungkin anak orang).
Untuk membaca buku yang isinya cenderung sama berulang-ulang tentunya akan menimbulkan perasaan wasteful, tentunya saya juga sudah waspada tentang kutipan orang bijak "We aren't fully learn something without repeat it", tapi menurut saya repeat yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah dalam praktis, tapi tentang baca buku yang dalam berbagai judulnya itu apakah bisa kita skimming? Since the writer have their own write style?
"Ya, ente tinggal praktis aja gan! Gitu aja kok repot!" Itu jawaban antagonis pribadi saya, jawaban dari diri lain yang pragmatis. Yah memang saya pernah baca juga salah satu contoh cerita di buku Doa Sang Katak (contoh yang sudah diolah dengan bahasa saya):
Suatu kali ada ibu rumah tangga yang membeli meja rakitan, dia membaca buku kemudian ingin memasang meja tersebut. Berjam-jam dicobanya menurut buku tidak bisa-bisa, kemudian menyerahlah dia dan menaruh buku tersebut. Ketika dia kembali lagi eh mejanya sudah terbentuk rapi sesuai gambar. Kemudian dia tanya pada pembantunya,"Loh kamu kok bisa? Padahal kamu buta aksara?" jawab pembantunya "Ya ini murni pakai otak bu di otak-atik saja."
Tapi ketika saya kemudian akan give up untuk membaca buku lebih jauh, saya melihat kembali apa sih hal yang membuat saya mulai membaca buku? Ada kutipan seperti ini:
Kita membaca buku untuk dapat melanjutkan tangga kehidupan yang orang lain tulis dan bagikan, supaya kita tidak mulai lagi dari 0 dan menapaki kesia-siaan yang sebenarnya dapat kita hindari dengan membaca buku dan cerita orang lain.
Tetapi memang realitas kata memang lebih besar daripada kata yang ditulis itu sendiri, sama dengan yang saya tulis ini sebenarnya banyak yang ingin saya bagikan namun memang bahasa memiliki batasannya untuk mengungkapkan sesuatu oleh karena itu harus ada dialog eh Jürgen Habermas lak'an. Hehehe.... Tidak bisa kita membaca suatu buku dan mengklaim bahwa dengan itu saja kita sudah memahami sama persis dengan apa yang dikehendaki penulis, perlu adanya suatu refleksi mendalam dan penelitian lain.
Tapi saya juga tidak percaya dengan ilusi keseimbangan (yin-yang, hitam-putih, baca-praktek) yang selalu didengungkan sebagai jawaban paling ideal dari sesuatu. Keseimbangan itu quo, bayangkan saja ketika kita sebagai pekerja yang selalu pulang malam mana mungkin bisa menyeimbangkan baca dan praktik, pasti ada yang lebih diusahakan dari kedua dikotomi tersebut. Saya pribadi percaya pada hal yang adaptif, hal yang membuat kita selalu berpikir dan membuat keputusan seturut setiap situasi dalam satu waktu kehidupan kita, menjauhi malas sebagai dosa utama manusia (dalam berpraktek atau berpikir), apa itu namanya? hehehehe...
Mendapatkan apa yang kita tuju itu adalah niatan utamanya, tetapi menghadapi konsekuensi pragmatis dalam membaca buku dan kemiripan ilmu pun menurut saya harus dihadapi dengan berpikir, dengan pertimbangan-pertimbangan di atas.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar