Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Musuh Riil yang Harus Manusia Lawan.

Tidak ada komentar
Dalam ‘convoluted-world’ seperti ini, sulit kita defining putih/hitam dengan mantap. Dunia dengan shades of gray -nya ini – gradasi hitam ke putih – walau tidak jelas putih-hitamnya bukan berarti tidak ada yang benar! Setiap keputusan yang dewasa memang harus melewati proses mengkritisi hal yang kompleks. Karena demikian kita harus sadar bahwa tiap hari adalah perjuangan, kata perjuangan sendiri selalu mengimplikasikan ‘terhadap sesuatu’.

Mau jalan ke putih atau ke hitam? bidak putih atau hitam? 



Apabila sesuatu itu hitam, maka katakan hitam. Bila putih juga katakan putih. Langit tidak perlu mengatakan dirinya tinggi dan tidak bisa sampah menyatakan dirinya bersih. Demikian ada tarik menarik atau GAP antara ‘fakta riil’ dan ‘truth/penafsiran terhadapnya’. Saya menyatakan sampah ini bukan sebagai personifikasi, tapi sampah-yang-bener-riil yang ada di TPS-TPS.

Misal: Fakta tentang sampah yang bau, namun hal itu sebagai baik disebut truth bagi sebagian orang. Mungkin gak masuk akal ya? Tapi coba ganti kata sampah dengan ‘entut’.

Tidak mungkin manusia berjuang ‘untuk jadi lebih miskin’. Dalam perjuangan kita terhadap sesuatu pasti dalam dirinya, manusia ingin menjadi lebih baik dan lebih dekat dengan sempurna. Maka sikap itu disebut mengejar transendensi. Namun GAP (antara fakta riil dan truth) itu yang kadang menghalangi kita untuk mencapai transendensi.

1 fakta bisa 1000 arti (1000 truth).
Saya menulis judul tulisan ini musuh riil, karena ingin menendang isu-isu ‘konflik horisontal’ sebelum di-impose-kan lebih dalam oleh overbearing-globalist pada masyarakat, khususnya Indonesia.

ide, sesuatu yang membentuk pemikiran-pemikiran lain


Musuh sejati manusia adalah ide. Ya sebuah ide. Bayangkan ide ini sebuah ruh yang masuk dari manusia ke manusia lain. Misalkan ini adalah ide ‘ketidak-setiaan’. Tidak peduli itu Jono, Pramita, Budi ataupun Jenifer yang ganteng atau cantik kalau ada dari mereka yang mengkhianati kita. Maka kita tidak bisa bersama mereka lagi. Hal ini dikarenakan persahabatan sifatnya segitiga. Namun tidak terbatas dengan nama orang-orang itu. Apabila adik yang kita kenal baik, tiba-tiba mengkhianati kita? Tentunya bisa saja persahabatan kita kan runtuh.

Sehingga karena musuh sejati kita adalah ide, ketika dikhianati oleh Jono, Pramita, dkk. Kita tidak boleh menciptakan permusuhan yang absolut terhadap daging tersebut. Karena musuh kita adalah ruh. Kalau permusuhan yang absolut itu – kita impose-kan – terhadap daging (nama/sesuatu yang bukan riil), kita akan kaget dan tidak siap bila ‘dikhianati’ oleh daging lain. Padahal ruh ‘ketidak-setiaan’ itu punya ciri-ciri yang konstan setiap saat dan bisa masuk ke dalam siapa saja.

Bukan berarti saya menerima juga sikap ‘ketidak-setiaan’ itu, namun tiap orang punya penyebab dalam sejarah-hidupnya mengapa mereka menjadi demikian (bersahabat dengan ketidak-setiaan). Hal itu tidak terjadi begitu saja, selalu ada causa prima kejadian. Yang berarti orang yang telah ‘tidak-setia’ dengan kita boleh kita temani lagi ketika ruh itu sudah pergi, karena tanpa ruh itu pergi hal itu hanya akan menyakiti diri kita sendiri. Kita memberikan kesempatan ‘reset’ atau ‘tobat’ pada vessel itu.

Terus bagaimana kita mengenal ruh-ruh itu? Kalau untuk saya sendiri, saya suka mengambil istilah ‘isme’ yang disebutkan oleh para filsuf dunia. Karena istilah itu sudah teruji dan pasti berbeda satu-sama-lain (ini bukan itu); hedonisme, pragmatisme, opportunisme, diktatorisme, relativisme, puritanisme, calvinisme, dll. Untuk hal yang tidak setia ini biasanya saya simpulkan pada egoisme. Kalau suka self-indulging/hidup jetset saya simpulkan pada egotisme. Tiap ruh memiliki kadar, misal egotisme 50% atau 100%, kita menilai sendiri.

Kerangka berpikir saya, menggunakan postulat platon ‘persahabatan sifatnya segitiga’. Tidak bernah Abigail bersahabat langsung dengan Susi, yang ada adalah hanya misal karena pada awalnya mereka sama-sama ‘suka mobil’ maka terjadi persahabatan. Kemudian apabila misal salah satu tidak menyukai mobil, maka persahabatan putus. Namun pada praksis nyatanya ketika bersahabat, terjadi ekspansi pada segi-ketiga itu entah mereka sama-sama ‘suka anime’ atau ‘suka wisata kuliner’ atau ‘satu pandangan politik’, namun tetap persahabatan bisa putus jika apa yang ‘mater-the-most’ tidak satu segi. Saya mengambil contoh mudahnya saja kenyataannya lebih kompleks.

Kita berjuang melawan -isme yang ada, ilusi-ilusinya untuk mencapai hal yang lebih tinggi. Nothing is true, everything is permited namun pola yang menyebabkan manusia bisa transenden hanya tersimpan dalam codex-hati-nurani. Hati nurani tidak menerima kata ‘pokoke’, doi akan selalu ‘mikir’ sampai kapanpun, ada penyesalan-perbaikan konstan. Jadi tidak bisa orang ‘indifferent’ tapi mengatakan dirinya mendengar dari hati nurani.

Cinta, sebuah segi yang absolut

Saya mengutip salah satu pendapat Chomsky, beliau mengatakan satu-satunya anarkisme yang sah adalah CINTA. Kemudian menyesalkan terjadinya PD I dan PD II, kematian manusia-manusia itu terbukti tidak menyelesaikan apapun. Perangpun masih terjadi tidak pernah selesai pada dekade setelahnya. Dalam sejarah manusia, kematian masal salah satu bangsa hendaknya menjadi pelajaran bangsa-bangsa lain untuk menyelesaikan konflik tanpa berperang. Berperang menyalahkan ‘daging’ atas perbuatan ‘ruh’. Sehingga ketika perang, daging mati, namun ‘ruh’ bisa lari ke mana-mana dan membuat masalah lagi. Kritisisme sebagai sesuatu yang melampaui dogmatisme adalah satu-satunya hal yang bisa kick-those-ass. Kritisisme yang menghentikan ruh itu!

nb: maaf bahasanya campur-campur, tapi kalau tidak memakai bahasa itu rasanya tidak cocok.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar