Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Manifesto: Menjadi Baik Benar Vs Menjadi Dipanggil 'Baik'

Tidak ada komentar

Ada perbedaan mendasar untuk judul yang saya tulis tersebut, istilah baik dalam konteks ini adalah tentang bertambahnya pengalaman, naik level, peningkatan ilmu dan praktek, dst. Bukan baik secara pedagogical atau segala hal baik yang berhubungan dengan 'agama' post ini murni sekuler-keilmuan. Saya membuat distingsi dalam kategori supaya gampang.




KARAKTERISTIK

Untuk menjadi baik ada beberapa point yang bagi saya harus diperhatikan:
  1. Fokus utama adalah diri sendiri pendapat lain adalah 'sampah' yang artinya tidak perlu terlalu dilihat. Kita melihat kemampuan kita kemudian menanyakan diri sendiri apakah sudah puas atau tidak dengan hal tersebut?
  2. Karena nomor satu, maka kita akan membandingkan skill kita dengan orang lain, "tanpa ada komentar dari diri". Komentar hanya sebagai pelarian kita, kita akan menjelekkan orang lain saja. Pembandingan itu dengan sikap diri, mana yang menjadi spesialisasi saya sendiri (saya sebagai air, punya kelebihan dari minyak, namun ada perspektif-interdependensi yg membuat 'besar kepala' dinetralisir sedari awal)
  3. Kemudian kita akan merasa selalu uneasy (untuk pencapaian dan nilai diri), rasa gak enak. Begitu kita tidak merasakan rasa tidak enak itu, kita secara otomatis jatuh ke kategori 2.
  4. Menjadi baik kemudian membuat kita punya sikap dasar untuk engaging dalam real activity, misalnya: membaca, praktek, eksperimen, dll. Hal ini membuat kategori satu ini sedikit asosial dan apatis dari penilaian orang lain. Kecuali memang mereka minta dinilai, tanpa diminta pendapat itu seperti buzz yang hanya mengganggu leveling.
  5. Bukan berarti 'monument-project' itu gak terlalu penting untuk selalu dibuat (kita tetep membuat untuk menjamin our-own-perceived-self-achievement), tapi untuk pamer-pada-sosietas selama belum ada fungsi leverage dari hal tersebut, misal: penggunaannya untuk memenangkan lomba dan kemudian mendapatkan proyek-proyek baru (bigger winning). Hal itu melanggar ketentuan nomor 3 yang berarti mundur 2 langkah.
  6. Pujian terbaik adalah rasa puas dari diri sendiri, puas telah berganti... dari kulit yg sebelumnya.
  7. Hidup dalam isolasi yang konstan atau tidak, itu tidak menjadi karakteristik kategori 1, namun karena banyak bersosial akan memaparkan kita pada nomor 2 dan 3 biasanya kategori satu ini menjauhi sosial yang terlalu memel. Perlu dipahami isolasi absolut juga akan menyebabkan hilangnya sense of reality yang berarti turunnya standar kepuasan yang juga harus dijauhi. Penampilan juga dijaga untuk menjaga bau-bau 'uneasiness' yang ada, tidak mencolok, memuja kerahasiaan dan menjaga kaki untuk selalu menginjak bumi.
  8. Seminggu = 6 hari aktif: ignoramus-maximus + 1 hari utk scrupulous (evaluasi dari 6 hari). Satu hari tersebut biasanya untuk mengintip ke pintu kategori 2, karena untuk menjadi kategori 1 harus mengetahui kontrasnya dari kategori 2. Tanpa mengevaluasi kontras kita tidak akan tau perbedaanya, once we know we in the right track (+ number of possibilities of something we might did wrong and its counter-measure), we move along!



Untuk dipanggil 'baik' ada beberapa point, namun sebelum itu mohon cek lagi karakteristik kategori pertama.

  1. Apapun untuk jadi leader-of-the-pack, agak rumit bila hal ini disamakan dengan 'fokus pada diri sendiri' karena apa yang dilakukan adalah selalu melihat keluar, melihat reaksi orang dan bertindak reaktif terhadap reaksi itu. Yang mana yang menjadi rencana-proyeksi-eksistensialisme diri dari visi, tidak tahu.
  2. Secara konstan mengomentari yang lain / casting spell ke semua dalam rupa 'feeds' (kalau medsos) dan omongan bila kumpul-kumpul. Pamer apa yang dipunya pada orang lain, sekecil apapun itu untuk merasa enak, namun tidak sadar akan efek psikologi dari 'fake-perceived-value' yang menghentikan progress (walau temprorer, waktu tidak bisa kembali).
  3. Bila dibandingkan dengan kategori 1, otoritas yang dipegang oleh kategori 2 ini bukan dirinya sendiri tapi orang lain, dan doi mudah memberikan 'hak' otoritas itu pada orang lain yg secara konstruksi-sosial dianggap 'lebih baik' (padahal hanya baik dalam 1 dimensi, tapi dianggap sebagai standar baik absolut, misal: soal pakaian atau jabatan).
  4. Mengikuti otoritas dianggap sebagai 'reward' dan menjudge orang lain berdasarkan hal tsb, misal selebgram pake baju tertentu kemudian dianggap bagus dan trendy. Dan pinjam istilah Richard Stallman, doi ini adalah sebagai 'victim-coperpetrator', menjadi kategori 2 yang abusing orang netral (belum masuk kategori 1) dan menjaga sesamanya untuk jatuh dalam lubang yang sama.
  5. Kategori 2 ini juga memiliki rasa uneasy (untuk citra), dan gampang ditutup selama ada 'topeng' yang pas.

MOTIF

Namun yang paling mendasar dari pembeda 2 kategori ini adalah motif. Sesuatu terjadi karena causa, salah satu jenis kausa adalah motif. Salah satu pencetus motif adalah pemikiran atas eudemonia (kebahagiaan/kesenangan). 

Pada jaman Yunani kuno, memang terjadi diskursus panjang soal apa itu eudemonia, namun garis batas yang diajukan oleh Stoic mengimplikasikan bahwa eudemonia yang ideal adalah yang lepas dari 'kebaikan eksternal' / hal duniawi dari luar. Dan oleh karena hal itu kita harus paham perbedaan antara kebahagiaan dan kesenangan: 
  1. Kesenangan ini berasal dari luar, ketika kita minum bir kita senang, ketika kita makan kita senang, dst.
  2. Kebahagiaan ini berasal dari dalam, ketika kita membantu orang dalam kebaikan kita bahagia, ketika kita menemukan dan memecahkan sesuatu (tanpa ada reward sekalipun) kita merasa bahagia, kita melukis hal yang indah/ main musik sudah ada reward internal yaitu kebahagiaan
Kesenangan = untuk mendapatkan, untuk daging | Kebahagiaan = untuk berada, untuk memberikan, untuk mencinta, untuk jiwa
Kategori 2 sering mengartikan eudemonia-kesenangan sebagai eudemonia secara umum (tanpa mengenali distingsi oleh Stoic). Sehingga menjadi eksis dianggap bahagia. Namun apa yang terjadi? Menjadi kategori 2 hanya menambah lubang dalam hati saja, karena kesenangan tidak pernah memenuhi jiwa hanya kebahagiaan saja yang buat kita penuh.
Hanya dalam kebahagiaan sejati, kita bisa bener-bener sejahtera lahir-batin. Kata-kata ini yang selalu berusaha dibuktikan oleh pembicara-pembicara seminar motivasi diri. Tidak pernah motivator itu bilang, bahagia adalah tackling hanya hal yang mudah-mudah saja
Kritik atau contoh perumpamaan yang sering saya ungkap untuk membedakan kategori 1 dan 2 adalah sebagai berikut: 


Foto boleh bagus, tapi esensi hiking bukanlah berfoto.
Misal Anda menikmati waktu dengan pasangan Anda, naik gunung kemudian melihat danau yang cantik pada saat beristirahat sebelum menuju puncak gunung tersebut. Anda berfoto sebenernya bermaksud untuk menyimpan kenangan tersebut (agar bisa dilihat pada tahun-tahun berikutnya). Namun di satu titik Anda melihat fenomena yang langka, alih-alih untuk menyerap dan menikmati 'seutuhnya' fenomena itu dengan panca indra (6 kalau ada yg lain) tanpa terganggu. Anda memilih foto untuk bisa memamerkan hal tersebut pada orang lain. Anda kehilangan moment untuk satu hal. Hal kedua saat Anda share di medsos dan mendapat sedikit like dan komentar, Anda lebih 'scrutinized' dengan hal itu belum lagi pengalaman yang 1/2 matang itu. Maksud saya adalah jangan sampai kehilangan kebahagiaan esensial untuk social-approval yang 'volatile' itu. Dan hal ini juga berlaku untuk hal yang lain.
Dalam dunia yang penuh dengan pengkondisian ini saya sendiri pun merasa harus waspada dengan apapun. Saya sendiri pernah terjebak masuk ke kategori 2, tapi bukan hal tersebut salah saya sepenuhnya. Saya percaya bahwa nasib adalah hasil dari eksistensi manusia-manusia lain dalam dunia. Ketika saya dalam posisi kalah (tidak kritis) maka itu yang akan terjadi. 

Semoga bermanfaat, terimakasih sudah berkunjung.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar