Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

Kejeglong: tinggal, diawasi saja

Tidak ada komentar
Gambar ilustrasi lubang di jalan. (courtesy: cleancutmedia.com)
Beberapa orang tua pernah bilang,"Biar saja, tunggu saja lebih cepat mana kebenaran atau kematian yang menyongsong dia!" Mereka mengatakan hal-hal tersebut dalam menghadapi beberapa orang (biasanya anak atau keponakannya) yang sulit untuk dinasehati. Yap... orang tua memang punya hak untuk memberikan nasihat, since mereka memiliki pengalaman dan mengalami sejarah yang jauh lebih banyak. Namun, orang yang lebih berpengetahuan juga boleh menawarkan pendapatnya kepada orang yang sekiranya membutuhkan nasihat. 

Ibarat ada orang yang sebenarnya tidak buta, namun selalu saja bila melewati jalan x kakinya kejeglong di lobang yang sama. 1 orang mengingatkan dihiraukan, 2 orang dianggap mengganggu, keluarga datang menasehati baik-baik dimarahi balik dengan 'nasehat-nasehat bijak'nya. Orang yang kakinya selalu kejeglong tapi menasehati dengan pembenaran-pembenarannya, bagi orang yang punya common sense hal itu boleh dikatakan sebagai ironi. Namun juga sinisme kembali kepada kita, bila kita selalu mengingatkan dengan metode sama (yang gagal itu).

Untuk direfleksikan pada diri sendiri, dalam model jendela johari, mungkin ada bagian-bagian dari diri kita juga yang, kita sendiri tidak tahu - sahabat kita tidak tahu - tapi orang lain tahu, kejeglong. Tetapi untuk membedakan mana sikap ideal dan tidak, yang menguntungkan bagi kita (asas kebergunaan), tentunya harus ada sikap untuk menerima dulu pendapat orang lain agar dapat mempertimbangkan dan meragukan apa yang sudah kita lakukan benar atau tidak.

Dengan menerima dulu pendapat orang lain maka kita dapat berpikir, mengevaluasi dan menentukan apa yang terbaik bagi kita, baik itu sebagai orang kejeglong atau yang mengingatkan (si penasehat). Bagi orang yang mengingatkan ketika diberi alasan bahwa 'si kejeglong' itu memang bisanya berjalan dengan cara yang sama saja dan itu hak dia, mungkin ada benarnya. Saya tidak mencoba sarkastik, tapi penasehat ya penasehat, berbeda dari diktator yang memaksakan kehendak dan harus jadi, penasehat hanya menawarkan saja. Walau sampai patahpun kakinya, toh memenuhi tugasnya apabila si penasehat sudah menasehati.

Bagi 'si kejeglong' yang menerima nasehat itu mungkin hal yang sedikit humiliating, kok sesuatu yang kuanggap normal ini, dikritik seolah-olah aku aneh, kita masing-masing dilahirkan spesial kan? Si kejeglong pun.. juga boleh menolak nasehat, toh mengikuti nasehat juga bentuk membuka upaya politisasi dari orang lain kepada diri kita. hehehe... Tapi inget juga ada macam politik, satu: politik etis dan dua: yang pragmatis sempit, mampu mengkritisi dan membedakannya dapat memberikan perubahan positif bagi kita:

  • Ketika kita menerima pendapat dahulu, memikirkannya dan mendapati bahwa nasihat 'jangan kejeglong terus' valid dan benar-benar demi kebaikan kita, maka apa salahnya menghemat kaki kita sampai tua umurnya baru lepas? -hasilnya baik
  • Ketika kita menerima pendapat dahulu, lantas mendapati bahwa nasehat itu hanya politik pragmatis sempit, untuk mengarahkan kita demi kepentingan penasehat saja. Kita bisa menolak karena kenormalan objektif dianggap kejeglong oleh penasehat kita. -hasilnya baik
  • Tapi apa yang terjadi langsung menolak pendapat? Ada 2 kemungkinan, baik atau buruk dan sayangnya bagi 'si kejeglong' yang menolak, kemungkinan itu tidak bisa dikendalikan. Ibarat: bayangkan ada pandemi zombie, kemudian orang ini berangkat berperang langsung ambil senjata di meja tanpa pemeriksaan ammo dahulu. 'si kejeglong' tipe ini kelak bisa hidup dan bisa mati. Kalau orang ini mendengar dulu orang lain untuk memeriksa ammo-nya dan menurutunya,  memang tetap ada kemungkinan mati, tapi dengan adanya persediaan ammo kemungkinan mati itu diperkecil. 
  • Hal ini bisa lebih parah terjadi pada 'si kejeglong' yang menerima saja tanpa mikir (hidupnya take for granted). 

Harta terbesar bagi si penasehat sendiri bukan untuk hanya mengetahui orang ini, itu / dia 'kejeglong'! Tapi merefleksikan diri 'apakah kejeglongnya dia itu objektif atau hanya subjektivitas saya saja? Apa pelajaran yang bisa berguna bagi saya dari orang ini?' Tapi jelas saya mengatakan ini bukan lantas mereduksi memberi sebagai pantas menerima, tetapi yang penting adalah bagaimana kita mengungkapkan kasih kita kepada orang lain, kepada 'si kejeglong' sebagai fokus utamanya lebih daripada diri sendiri.

Namun, permasalahan si penasehat antara dan ternasehat tidak tinggal berhenti di sini, sejauh kasihmu ada, hal itu akan mewujud dalam pengawasan dan upaya konkret indirect lain yang mungkin dapat menyadarkan tidak hanya satu orang saja namun ribuan orang, yang kejeglong.  :D

Tidak ada komentar :

Posting Komentar