Hidup adalah barter
Hidup adalah sebuah pertukaran,Hidup adalah sebuah barter.
Setiap ilmu yang kita dapat, ditukar dengan waktu, kita bertambah tua
Setiap tidur yang kita dapat, ditukar dengan daging, kita bertambah gemuk
Setiap pekerja yang mendapat upahnya, ditukar dengan kerjanya, kita mendapat bayaran
Setiap santai yang kita dapat, ditukar dengan refreshnya otak, kita dapat kelonggaran
Dari bait-bait di atas tidak ditekankan adanya buruk/baik pada 'barang barteran' seperti ilmu-waktu, tidur-gemuk, kerja-bayaran, santai-refresh, karena menurut sintesis saya sebenarnya apa yang buruk itu selalu apa yang terletak pada kutub ekstrim pada suatu hal, misal: ekstrim santai, ekstrim tidur, ekstrim bekerja, ekstrim belajar, dst. kelak akan bersifat buruk.
Hidup adalah pertukaran, Jadi bisa dikatakan dalam konteks bekerja: kita ini bisa hidup dengan barter tanpa henti setiap waktu. Kita menukarkan apa yang kita miliki dengan sesuatu yang lain, kita dibarter (dibayar) setimpal dengan apa yang kita barter (berikan) kepada orang lain.
![]() |
relasi pembeli dan penjual |
Apa yang diberikan manusia satu sama lain, tidak serupa satu hal saja, tapi satu hal ini memiliki banyak nilainya, maksudnya apa yang kita berikan tidak hanya sekedar saja bagi orang lain. Tidak sekedar/sekedarnya saja itu dapat dipahami sendiri oleh masing-masing insan, karena pada dasarnya manusia tidak bisa dibohongi. Manusia memiliki intuisinya sendiri untuk membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Contoh: kita memberikan pelayanan penjualan tiket pada orang lain, tidak sekedar menjual tiket tapi juga ada nilai-nilai senyum dan keramahan serta pendistribusian tiket yang baik tanpa ada cacat hingga ke tangan konsumen.
Tidak sekedar/sekedarnya saja ini juga menentukan besar barang barter yang didapatkan oleh manusia lain. Jadi tidak bisa manusia mengharapkan barter (menukar) sesuatu yang sedikit nilai dengan sesuatu yang nilainya berkali-kali lipat, dengan tanpa masalah. Selalu ada cost yang akan dikorbankan pada yang lain... Misal korupsi pada sebuah badan, pasti pertukaran yang terjadi menuntut balas pada hal-hal yang lain, utamanya pada pelakunya itu sendiri.
Hukum pertukaran ini dijelaskan fisika dengan hukum aksi-reaksi, gaya aksi setimpal dengan gaya reaksi. Atau hukum kekekalan molekul pada kimia yang 4 atom hidrogen dan oksigen, menjadi 2 H2O. Hal ini tidak bisa disangkal secara sains.
Apabila kita mempertanyakan hal tersebut dalam pendekatan filsafat, metafisika, bagaimana itu kok bisa begitu? Kita akan terkagum-kagum, bagaimana suatu hukum alam itu secara rigid seperti besi, dan seperti emas, kualitasnya tidak berubah dan aturannya tetap dari waktu ke waktu.
Apabila teori 'barter' di atas kita aplikasikan pada kehidupan sosial yang nyata: bolehlah kita hitung berapa penjual soto yang ada di kecamatan kita, kemudian kita bandingkan dengan penjual soto terkenal di kota kita (jumlahnya). Tentu akan ketemu lebih banyak angka penjual soto di kecamatan kita. Pertanyaannya: 'mengapa kok ketika penjual soto biasa itu tau bahwa ada penjual soto yang lebih terkenal, tidak mengembangkan kualitas sotonya hingga menyamai? Bukankah berusaha menyamai penjual soto yang enak itu tidak serupa dengan menyamai mahadewa?' Bukankah mereka juga akan mendapat setimpal dengan apa yang mereka usahakan dalam soto mereka? Toh tidak hanya penjual soto, tapi juga bisa kita sendiri dalam masing-masing bidangnya.
Kita di sini mengesampingkan berbagai excuse (alasan) yang dibuat oleh manusia, misal: persoalan modal, pengetahuan, dll yang karenanya penjual soto tidak bisa berkembang. Basis berpikirnya untuk penjual soto mencapai resep yang enak adalah bahwa manusia secara eksistensial bisa mendapatkan apa yang dia mau selama dia benar-benar menginginkannya. Kesadaran sendiri membawa kita pada suatu jenis pengetahuan yang lain.
Bolehlah kita menghitung-hitung juga usaha kita selama ini. Apabila ada sesuatu yang kita inginkan belum tercapai maka, bisa jadi apa yang kita barter dengan barang itu belum setimpal. Apabila usaha kita belum setimpal, maka kita tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu itu. Namun apabila kita barter dengan setimpal, percayalah bahwa kita akan mendapatkan sesuatu yang setimpal juga.
Kesadaran akan hidup/aktivitas ekonomi adalah barter, akan membawa kita kepada suatu pemahaman bahwa sebenarnya energi/qua yang dibarter ini berputar tidak pernah henti dalam suatu sistem yang kompleks. Dalam ekonomi hal ini disebut perputaran uang. Namun saya menganggap ini seperti bola energi. Di mana manusia memberikan eneginya untuk bisa memberi dan menerima energi yang lain yang serupa.
Namun secara sinis saya juga berpikir: apakah ada penilaian yang 'bebas nilai'/'tidak berpihak' terhadap neraca kesetimbangan energi yang barter tersebut di jaman sekarang ini? Maksud saya: energi dari petani yang mencangkul sawahnya dibandingkan dengan energi para pemain saham. Dengan mengetahui banyak sekali imbal balik (barter) yang diterima oleh pemain saham dengan dalih ilmu pengetahuan sebagai faktor 'usaha', daripada yang diterima petani yang juga memiliki ilmu pengetahuan. Apakah benar-benar kesetimbangan demikian yang benar harus diterima oleh petani? Mengapa bahan makanan yang diusahakan, yang sangat dibutuhkan orang untuk hidup dan bernafas sedemikian jauh kurang harganya? Mungkin pemikiran seperti ini kelak dicurigai akan beralur pada paham sosialisme yang menginginkan persamaan kelas dalam sebuah sistem yang inklusif, namun toh pemikiran kritis ini membuka akan adanya kemungkinan kesewenang-wenangan sistem awali dalam menentukan apa itu yang utama dan yang baik secara konsensus dalam tiap pertukaran (barter). Dan kelak hal ini akan berpotongan dengan hukum-hukum alam.
Memang menentukan apa yang benar-benar benar dalam satu hal/hal yang lain selalu menyebabkan debat panjang.
![]() |
tiap orang ingin harga terbaik, baik pembeli atau penjual |
Pengetahuan tentang kesetimbangan barter, dll. dalam konteks ekonomi terlihat dari berbagai pemikiran tentang 'harga' yang terdapat dalam sejarah. Thomas Aquinas pada abad ke 12 pernah berpendapat dalam konteks moralitas pasar 'No man should sell a thing to another man for more than its worth'. Kemudian ada Anne-Robert-Jacques Turgot pada tahun 1769 berpendapat 'despite its necessity, water is not seen as a precious thing in a well-watered country' yang kemudian berujung pada dalil yang kontradiktif bahwa yang komoditas yang langka mendahului kebutuhan manusia dalam penentuan harga. Apakah hal tersebut secara awali adalah hal yang objektif? Bukankah hal tersebut adalah subjektif yang kemudian (sewenang-wenang) menjadi objektif?
Ketidakpastian kesetimbangan barter ini tidak harus membawa kita untuk menjadi seorang skeptisis / lebih parah nihilis yang tidak percaya segala sistem dalam dunia. Namun seperti credo Descartes yang mengatakan 'Aku ragu maka aku ada', kita bisa mengilhami bahwa segala hal di dunia ini tidak pernah kita ketahui 100% dan semuanya meragukan, namun yang tidak kita ragukan sebagai orang yang eksistensial adalah kita sendiri yang selalu ragu tersebut (aku ada).
Barter dalam kehidupan yang sedemikian diceritakan di atas (tidak bebas nilai), juga mengandaikan kita untuk memiliki kualitas mental/ hati nurani yang selalu ingin membayarkan pada yang kurang, bagaikan seorang yang kaya namun memberdayakan siapa saja yang pantas. Namun lebih dari itu dengan mengetahui barter dalam kehidupan, kita harus senantiasa memperbaiki hidup kita untuk memiliki kualitas yang selalu lebih baik!
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar