Konsisten, sulit namun wajib dan butuh sifat yg resilience
Konsisten diperlukan dalam setiap bagian hidup kita, dalam melaksanakan suatu nilai.Disebut konsisten apabila yang kita lakukan tidak kontradiktif dengan nilai tersebut...
Apabila kita ketik define: consistent di google, maka dijelaskan definisi kata konsisten. Definisi itu kalau ditranslate menjadi (kurang lebih): ketidak berubahan dari pencapaian atau dampak dalam waktu tertentu. 2 aspek yang saya bold menjadi bagian penting dalam tulisan ini.
Sedangkan ketika kita ketik define: resilience di google, maka dijelaskan definisi kata resilience / ketahanan. Definisi ini juga kalau ditranslate menjadi (kurang lebih): kemampuan suatu substansi untuk kembali ke asal bentuknya (kaidah elastisitas).
Kedua hal tersebut sangat penting karena pada dasarnya diri kita akan selalu bersitegang dengan rasa frustasi (akibat tidak terpenuhinya keinginan kita) yang akhirnya membuat kita kurang ketahanan dalam membangun konsistensi tersebut. Konsisten dalam beberapa hal, jiwa-nya, terdapat dalam kata-kata seperti: laggard (konsisten konservatif), inovatif (konsisten inovatif), dst.
Konsisten juga ada kalanya berhubungan dengan peran kita, sebagai ayah/ibu, kakak/adik, saudara laki-laki/sudara perempuan, makhluk ber-Tuhan dst. Konsisten terhadap nilai untuk peran, itu yang saya tekankan di sini.
Filsafat, sebagai ilmu bertanya, sangat diperlukan untuk dapat merefleksikan / mengenal hakikat yang lebih dalam dari nilai-nilai tersebut, filsafat mengandaikan kita untuk mendapatkan makna, bagi yang sedang makan, 'keberuntungan bagi kita sekarang untuk mendapatkan makanan yang hangat' alih-alih makan hanya untuk sekedar kenyang. Atau dalam peran-peran, kita dapat mengandaikan kakak laki-laki sebagai "tulang punggung keluarga" alih-alih hanya sebagai anak pertama berjenis kelamin laki-laki. Menjadi konsisten membutuhkan kesadaran dan pendalaman filosofis makna akan sesuatu.
Terkadang saya berpikir, mungkin saya akan dianggap hipokrit apabila membahas konsistensi sebagai suatu ideal yang tidak semua orang bisa demikian. Namun dalam definisi yang sudah disebutkan di atas, memang konsistensi itu tidak dianggap sebagai suatu yang harus dilakukan sempurna seumur hidup sebagai standarnya, jika begitu maka semua orang tidak akan konsisten, dan kata 'konsisten' akan tercipta sia-sia. Namun, proposisi yang saya ambil di sini adalah bahwa ada kandungan resilience yang jarang dibahas dalam istilah konsisten tersebut.
Resilience dibahas secara lebih mendalam dalam artikel-artikel yang membahas tentang adversity quotient (AQ), silahkan untuk mendalami lebih lanjut.J. Sudrijanta, S.J. dalam bukunya berjudul "Revolusi Batin adalah Revolusi Sosial" menjelaskan bahwa manusia itu sebenarnya makhluk yang dinamis. Dinamis di sini berarti berubah-ubah. Selama dia itu manusia, dia mungkin saja untuk dapat berubah dari yang sebelumnya baik menjadi buruk, buruk menjadi baik. Yang tidak berubah hanyalah kemanusiannya sendiri (sifat dinamis tersebut). Sifat kemanusiaan ini yang harus kita pahami sebagai suatu anugerah, karena dengan sifat yang dinamis manusia memiliki kesempatan bertobat. Bayangkan jika manusia itu statis seperti asam (HCl) yang sifat senyawa-nya perusak dan tidak bisa berubah, tentunya tidak akan kita kenal kata 'tobat' itu karena penciptaan kata tersebut kelak dianggap sia-sia.
Konsisten dalam menjadi makhluk ber-Tuhan misalnya:
Di jaman informasi, dispersi informasi menjadi hal biasa yang dilakukan sehari-hari. Bagaikan dimasukkan ke dalam suatu akuarium hegemoni informasi, kita membagikan segala macam hal dan tidak kita anggap tidak salah. Namun ternyata kebutuhan 'self-esteem' manusia tidak bisa dipungkiri mempengaruhi dan bahkan mendominasi budaya berteknologi kita saat ini. Laura E. Buffardi dan W. Keith Campbell dalam penelitiannya pada tahun 2008 tentang Narcissism and Social Networking Web Sites, menemukan bahwa narcissists bertindak, memerankan diri, dan dianggap di situs jejaring sosial dengan cara yang mirip dengan bagaimana mereka berperilaku secara real, kehidupan offline.
Budaya berteknologi informasi sebagai norma, tentunya akan bertabrakan dengan norma sebelumnya, semisal norma agama. Norma bertabrakan dengan norma, maka ada etika sebagai jalan keluar. Namun di sini saya tidak bahas etika, karena saya belum baca satupun bukunya. hehehe...Di sini saya tidak strict dan menuntut kita semua untuk menjadi orang putih, yang suci, bebas kesalahan, tak berdosa, dll. Namun saya ingin menekankan pada pendalaman rasa dalam bertindak (saya pakai rasa definisi langsung dari bahasa India, karena saya pikir lebih dalam) dan hakikat dari spiritualisme yang masih saya dalami, yang belum sempurna ini.
Konsisten dalam menjadi makhluk ber-Tuhan saya definisikan sebagai menjadi manusia yang berada sebagai bagian yang utuh, yang diciptakan. Ketika nilai ini dibenturkan dengan narsisme, maka ada salah satu yang harus kalah, karena manusia tidak bisa ambigu dalam bertindak. Saya katakan ambigu, karena dalam satu waktu manusia tidak dapat bersamaan memuja dirinya sendiri dan memuja Tuhan. Ingatkah Anda ketika mengucapkan: puji Tuhan, syukurlah, alhamdullilah, dll?
Bayangkan kita ada di jaman kerajaan, dan kita memuji diri kita tepat di depan yang mulia raja. Manakah yang kita pertahankan, diri kita atau yang mulia raja tersebut kalau seandainya raja itu bisa saja menghukum mati anda kapanpun dia mau?Dalam konsep metafisika, zat ghaib tidak mengenal jarak, ruang dan waktu. Sehingga sangat dekat, dan sejak adanya. Demikian sifat ke-Allah-an Tuhan, yang dalam ada-Nya, selalu menyaksikan kita menjadi sebuah kesadaran yang tidak ingin kita ingat dan ketika ingat itu hati nurani selalu terjujuh ketika ingat dosa-dosa kita. Ketika saya mengatakan ini mungkin ada yang mengatakan, 'halah, jadi manusia gak usah serius-serius lah... santai saja...' saya di sini ngomongnya santai kok... tapi tiap merefleksikan ini apa masing-masing tidak akan terjujuh nuraninya?
keterjujuhan ini harus bisa diantisipasi...
...dalam keterjujuhan hati nurani itu sifat resilience atas dasar 'sifat manusia yang dinamis' harus bisa segera mengambil alih. Pada pelatihan Pria Sejati Youth, dijelaskan tentang sifat dosa yang seperti mengintip di daun pintu. Walaupun awalnya kecil tapi semakin lama dibiarkan, bisa-bisa pintu itu terbuka lebar sebelum kita sadar dan akhirnya masuk ke ruangan dosa itu. Karena sifat ruangan dosa itu juga yang membuat kita terikat karena merasa berdosa dan tidak bisa kembali ke ruang kosong itu juga membuat frustasi. Dalam hal ini, keterjujuhan bahwa kita tahu kita meninggikan diri kita lebih dari hak yang seharusnya didapatkan Tuhan, menjadi manusia bodoh, yang dilihat Tuhan dalam takhta-Nya, setiap hari, dari dulu, tentu membuat kita takut untuk kembali.
Sifat resilience dalam meneguhkan konsistensi kita juga bergantung pada kekuatan pembenaran kita. Kebutuhan manusia untuk percaya (lihat: Nietzche - Kehendak dan Kebutuhan untuk Percaya) juga turut mempengaruhi kekuatan pembenaran kita. Namun dalam kesimpulan saya, belajar adalah pembenaran diri yang selalu direvisi. Toh apa yang manusia ketahui dalam satu waktu juga tidak selalu utuh yang oleh daripada itu harus disempurnakan.
Konsisten, sulit namun wajib dan butuh sifat yg resilience, mengandaikan bahwa kita dalam diri kita harus (should, harus yang dari dalam diri) selalu bertanya kepada diri kita akan lurus/tidaknya suatu ideal yang kita laksanakan sebagai bukti bahwa kita benar-benar melaksanakan ideal tersebut: menjadi orang ber-Tuhan, orang jujur, orang sukses, orang bermartabat, dll.
Tapi lepas dari refleksi iman, sifat konsisten buah dari filsafat (refleksi) bisa menjadi teknik jitu untuk mendapatkan kesuksesan lho...
![]() |
sumber: pliable.files.wordpress.com |
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar