Suka {filsafat, ngoprek dan berkomentar}

OCD Media Sosial Bahayanya terhadap Waktu & Feelings

Tidak ada komentar
Alasan saya sharing ini adalah uwaaaaa gak sadar 2 jam browse gak jelas! Dan kadang feeling campur uduk kalau sudah browse terlalu lama di medsos. Sudut pandang postingan ini adalah kita terhadap orang lain.



OCD definisinya menurut Wikipedia adalah gangguan mental di mana orang merasa perlu untuk memeriksa hal-hal berulang-ulang, melakukan rutinitas tertentu berulang-ulang (disebut "ritual"), atau memiliki pikiran tertentu berulang-ulang. Orang tidak dapat mengendalikan pikiran atau aktivitas selama lebih dari waktu singkat.

Media Sosial sebagai sebuah tempat untuk sharing dan juga untuk sumber entertainment berbeda dengan TV. Medsos lebih interaktif yang artinya semakin banyak klik, maka semakin kita mendapatkan kesenangan. Kesenangan itu didapatkan dari efek ‘WOW’, hal-hal baru yang bikin takjub, hal-hal baru karena kita terhubung dengan berbagai kebudayaan di seluruh dunia. Dalam kasus ini bayangkan Instagram.

Waktu kita = untuk hidup kita, tujuan kita sendiri

Tiap manusia punya kehidupan sendiri yang hanya masing-masing yang bisa pegang kendali. Kemudian tentunya kita harus PENUH dalam menjalankan hidup supaya bisa dianggap ‘sober’. Sedangkan dalam batas tertentu, melihat media sosial juga dapat dianggap sober. Namun karena ketika terjadi OCD, waktu yang dianggarkan untuk melihat media sosial menjadi tidak karuan. Kita menjadi mabuk dalam arus entertainment. Kita menjadi mabuk, kalau demikian kehidupan siapa yang kita jalankan?

Familiar? Scroll terus hingga lupa waktu

Beberapa buku yang saya baca tentang branding, selalu mengatakan secara implisit hal berikut: Jalani kehidupanmu dengan penuh, ketika kehidupan itu sudah penuh maka skill-setnya akan macem-macem. Nah itu yang harus dishare kepada orang-orang, untuk menambah daya-saing. Karena sekarang ini segala sesuatu tidak pernah lepas dari ‘perceived-value’ (setidaknya untuk dunia modern). Keyword tetap sama: menjalankan hidup secara sober dan penuh.

Saya menyadari sebagai konten-creator ketika dihadapkan dengan banyak sekali konten, mencari inspirasi kadang menjadikan saya lepas kendali dan bisa berjam-jam. Karena ini tidak lepas dari banyak sekali arus informasi dari seluruh dunia yang masuk ke satu corong.

Waktu saya lebih terkontrol apabila ketika melihat medsos hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, misal inspirasi tentang memasak atau diy project atau 3d effect dll. Kalau melihat terus menerus takutnya saya akan kehilangan kehidupan saya as if I’m rejoicing others achievements as mine. Jadi begini pemahaman saya tentang ‘sober’

Arus Feeling

Cat Walk
Karya apabila sudah di-digital-kan selalu punya konsekuensi untuk bertahan hingga jutaan tahun (sampai pada akhir umur dari media penyimpanannya, tapi hal ini gak mungkin karena data selalu dibackup terus ke hdd baru dalam server baru mungkin pada periode tertentu). Manusia selalu ‘memahat pada batu’ untuk sesuatu yang baginya merupakan terbaik. Sedangkan manusia-seniman selalu demikian untuk sesuatu yang exceeding expectation of society. Pahatan batu digital ini selalu berada di panggung cat-walk media sosial.
Arus feeling seniman selalu diarahkan pada dirinya sendiri, jadi terhadap ukirannya itu dia nilai bagus/tidak apabila itu sudah cukup ‘memuaskan’ dirinya. Namun orang lain dalam medsos menilai berdasarkan kuantitas like & share dari karya mereka. Like & share adalah sebuah ukuran yang… tidak stabil, setidaknya bagi kesenian itu sendiri.
Ilustrasi, proyeksi manusia dari data
Proyeksi seseorang dari ‘kehidupan medsos orang lain’ adalah proyeksi ‘kehidupan yang artifisial’, seperti misal: jujur saya 50% waktu di rumah selalu ote-ote (tidak pakai atasan). Tapi hal itu jarang terlihat di medsos, sehingga saya dianggap ‘modest’ karena itu. Kumpulan postingan medsos selalu membentuk ‘avatar’/identitas kita di dunia (gak hanya di dunia maya rupanya), disengaja atau tidak. Apakah yang disebut ‘Kharisma’ bisa datang dengan hal ini? Nah…
Artifisial = dibuat-buat… seperti foto dengan mobil, walaupun bukan mobilnya. Di atas moge walau bukan motornya. Foto jalan-jalan sepanjang waktu, membuat orang mengira bahwa kita superior dll. Padahal itu bisa saja hanyalah sepotong millimeter dari pita sepanjang 1 meter kehidupan seseorang. Ibarat Cinderella yang cuma hingga tengah malam bisa pakai spatu kaca & baju putri kerajaan untuk ikut berpesta, selain itu ya gadis rumah tangga biasa. Mungkin 2 dari 10 orang yang memang riil kehidupannya seperti demikian.
Memang saya tidak bermaksud dengan ngomong gitu harus posting diri saya ote-ote, tapi ‘fakta ini’ untuk disadari saja. Saya menyadari hal ini ketika pandangan saya berubah melihat teman saya setelah melihat banyak postingannya, buat apa begitu? Toh kalau kita mampir ke rumah orangnya ya sama saja. Jiwanya tetap sama!

Kala melihat medsos kadang feeling kita berkecamuk, ingin ini-ingin itu, hal ini tidak salah: untuk tertarik pada hal yang terbaik dan mendekati kesempurnaan adalah sifat inherent dari manusia. Kesimpulan saya: medsos selalu adalah catwalk untuk berbagai ukiran di atas batu oleh berbagai macam jenis manusia. Sesuatu yang terjadi 1x dalam satu waktu. Kitapun punya moment tersebut dishare atau tidak, sehingga kompetisi yang tidak perlu – tidak usah terjadi.

Namun hal ini mungkin tidak berlaku bagi wanita ya? Bagi kaum hawa (apalagi yang single) medsos ini ibarat kaca pada tahun 1800an, ada kecenderungan khusus baginya untuk posting secara relentless…

Tidak ada komentar :

Posting Komentar